Judul: Mahabharata
Penulis: C. Rajagopalachari
Penerbit: IRCiSoD
Penerjemah: Yudhi Murtanto
Editor: Abdul Azis Sukarno
Cetakan ke-6; November 2008; 521 halaman
Blurb
Mahabharata
Edisi Asli ini lebih dari sekadar Epik, ini adalah roman, yang menceritakan
kisah laki-laki dan perempuan heroik serta beberapa tokoh luar biaasa. Karya
ini mengandung seni sastra dalam dirinya sendiri dan rahasia hidup sejati:
filsafat sosial dan hubungan etik, serta pemikiran pokok tentang
masalah-masalah manusia yang sulit dicari padanannya. Bahkan melebihi
segalanya, kisah ini menyimpan inti cerita dalam bhagavad Gita, yang merupakan tulisan sangat tinggi budinya dan
hikayat terbesar di mana cerita akan mencapai klimaks dalam kisah perwahyuan
yang menakjubkan dalam The Elevent Canto.
Sinopsis
Pandawa,
putra Pandu dan Dewi kunti serta Dewi Madri, memutuskan menjalani hukuman yang
diberikan oleh Duryudana setelah mereka kalah bermain dadu melawan Sengkuni.
Permainan dadu yang telah direncanakan dengan licik oleh pikah kurawa membuat
anak-anak Pandu mengalami kekalahan telak. Harta, kerjaan hingga Drupadi,
istrinya pun dipertaruhkan dalam permainan tersebut. kan Hingga akhirnya
Drupadi dipermalukan, dan dilecehkan di depan semua tetua hastinapura tanpa
satu orang pun bisa menolong, bahkan Bhisma yang terkenal bijak, dan adil,
hanya terpaku melihat Dursasana melepaskan pakaian Drupadi.
Kebencian
itu mereka bawa selama 12 tahun masa pengasingan dan 1 tahun penyamaran. Dan
ketika itu semua berakhir, Yudishtira tetap menawarkan perdamaian dan meminta
lima desa untuk mereka.
Kesombongan
Duryudana melihat Pandawa tidak memiliki satu apa pun hanya mencemooh dan
menolak permintaan damai itu. Bahkan bukan hanya sekali, berkali-kali
Yudishtira menawarkan perdamaian agar bisa terhindar perang. Bahkan Krishna
turut ikut menawarkan perdamaian tersebut.
Sayangnya,
kesombongan dan keangkuhan telah menuliskan sendiri takdir kematian yang akan
dialami Duryudana dan pengikutnya.
Review
Jujur
aja, baca novel ini bikin lelah. Tapi terbayar kok dengan kisah yang
ditawarkan, memang kisah epik yang penuh kepahlawanan dan nilai-nilai kebaikan
ditawarkan dalam buku ini. Selain itu buku ini terbilang “masuk akal” kecuali
abaikan panah yang bisa berubah jadi ular. Masuk akal yang aku maksud sih
nilai-nilainya. Tidak semua orang jahat itu selalu berbuat jahat dan tidak
selalu orang baik, akan berbuat baik. Pasti ada sisi sedikit saja dalam diri
mereka untuk melakukan bertentangan dengan pribadi yang mereka miliki.
Karakter
Yang
bikin buku ini tebal adalah karena pengenalan tokoh yang terlibat dalam setiap
bab. Misalnya di bab 1 itu tentang pertama kali bhisma lahir. Terus bab
selanjutnya dijelaskan gimana perselisihan Amba-Bhisma dan gimana Amba bisa
jadi Srikandi. Pokoknya detail-detail pemain yang mendukung Mahabharata ini
akan di ulas satu persatu. Dan tokoh pandawa sendiri akan muncul disekitar
halaman 50an.
Aku
paling suka (aku selalu lupa catat halamannya) ketika ramalan adanya perang
besar antara kurawa dan Pandawa, Yudishtira bersumpah akan menjaga ucapan dan
kelakukannya, untuk menghindari sakit hati antara dirinya dan orang lain.
Kisah ini menggambarkan
betapa rapuhnya rencana manusia, sebaik dan sebijaksana apa pun itu, jika tidak
disertai campur tangan Hyang Maha Kuasa. Kebijaksanaan tidak akan ada artinya
di hadapan suratan takdir. Jika nasib baik berpihak, kebodohan akan berbalik
menjadi keuntungan. – hal 122
Sayangnya
sih, justru sifat baik Yudistira-lah yang memicu konflik utama dalam buku ini.
Konflik
Konflik
utama dalam buku ini jelas tentang perang besar yang terjadi antara Kurawa dan
Pandawa. Akibat dari permainan licik Sengkuni yang menantang Yudishtira bermain
dadu. Padahal sudah diperingatkan, permainan judi hanya akan membawa
malapetaka. Tapi Yudishtira yang tidak enak menolak undangan Duryudana,
sekalian ingin menyenangkan sepupunya tersebut, ia bersedia. Seperti di duga,
Yudishtira kalah berkali-kali dan ia menyerahkan semua harta dan kerajaannya.
Dan entah bagaimana Yudishtira terpengaruh oleh bujukan Sengkuni untuk
mempertaruhkan Drupadi, istrinya. Dan Drupadi mengalami pelecehan, untungnya
para Dewa membantunya. Tapi sejak Drupadi dilecehkan, kebencian Pandawa muncul.
Kebencian yang mereka tahan selama ini, mempertimbangkan Duryudana adalah saudara
mereka, muncul begitu saja.
“Semua orang tahu permainan
dadu adalah sumber semua kejahatan.” – Widura : hal 128
Yudishtira
sebagai seorang ksatria tidak menolak hukuman dari kalah dadu. Mengasingkan
diri selama 13 tahun. Dalam waktu membuat mereka melupakan dendam mereka, tapi
tidak Duryudana yang selalu ingin menjatuhkan Pandawa.
Disini,
kita bakal di ajak untuk membenci kedengkian Duryudana, hasutan licik Karna dan
Sengkuni. Mereka berdua lah dalang dibalik pengobaran kedengkian Duryudana pada
kesuksesan Pandawa. Duryudana tidak puas, dan menolak memberikan tanah pada
Yudishtira, walaupun hanya sejengkal.
Dan
perang tidak terhindar. Karena pihak Kurawa lah yang menginginkan perang.
Sedangkan Yudishtira menginginkan damai.
Alur
Aku
suka banget sama alurnya yang rapi dan teratur. Tahap ber tahap dari pengenalan
karakter, lahirnya kebencian Duryudana pada Pandawa, konflik yang menyebabkan
perang, serta masa-masa pengasingan mereka yang di ceritakan sesuai urutan.
Meski banyaknya karakter bikin aku bingung, tapi nggak membuat cerita ini
berkurang maknanya. Karena tokoh utamanya tetap Pandawa dan Krisna.
Kesimpulan
Di
dalam perang, kita akan diajak untuk mengetahui sifat manusia sebenarnya.
Menariknya, beberapa adegan dikaitkan dengan masa zaman sekarang. Misalnya saja
ketika Pandawa mengirimkan Pembicara untuk membujuk damai, hal itu dikaitkan
dengan pemboman Pearl Harbor oleh Jepang. Diceritakan, saat itu sebenarnya
pihak Jepang-Amerika sedang membicarakan damai juga.
Lalu
ada juga gimana perang itu harus mengikuti dharma, memiliki aturan. Di
Mahabharata, saat berperang mereka hanya boleh satu lawan satu dan tidak boleh
menusuk dari belakang. Tidak boleh melukai rakyat biasa. Dibandingkan dengan
jaman sekarang, dimana perang tidak mengenal korban, baik rakyat biasa,
anak-anak maupun perempuan.
Menariknya,
Yudishtira yang terkenal bijak dan arif serta tidak pernah berbohong, melakukan
sesuatu demi kemenangan mereka. Bahkan Krisna, basudewa yang mereka agungkan,
juga memberikan sedikit “tips” licik dalam perang tersebut.
Lihat
kan? Betapa nafsu untuk memenangkan perperangan telah mengubah orang sebijak
Yudishtira?
Lalu
ketika anak Duryudana marah besar, ia membalas kematian ayahnya dengan
menyerang pasukan Pandawa saat tengah tertidur, ia menyesal dan menebus
kesalahan tersebut dengan mengorbankan dirinya. Lalu ia mendapat tempat di sisi
para Dewa karena sifat ksatrianya itu.
Dan
disini cerita ini ingin mengajak, orang jahat sekalipun pasti akan berbuat
sedikit kebaikan.
Lalu
Yudistira adalah gambaran sempurna bahwa tidak pernah ada satupun di antara
mereka yang memenangkan perang. Baik itu pihak jahat atau baik. Saat kejahatan
kalah, pihak baik juga kehilangan orang-orang yang mereka cintai dan kasihi.
Bahkan Yudistira menggambarkan tidak ada artinya kemenangan itu tanpa
orang-orang yang mereka sayangi.
Nilai
baiknya, Yudistira berhasil memimpin kerajaan dan membuat rakyat hidup bahagia.
Lebih bahagia daripada saat Duryudana memimpin. Disini nggak dijelaskan sih
apakah ini termasuk kebaikan dari hasil memenangkan perang, tapi menurut aku,
ini mungkin cara lain untuk menunjukan bahwa niat baik itu memang harus
mengorbankan banyak hal. Demi kepentingan banyak orang. Tapi entah dengan
perang atau bukan, aku nggak tahu.
Ah,
kesimpulan akhir yang aku dapat tuliskan, apapun agama, ajaran, dan keyakinan,
satu hal adalah mereka tetap mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Selalu ada
balasan untuk kebaikan, dan selalu ada balasan untuk kejahatan. Kedengkian
tidak pernah membuat seseorang merasa puas dan ingin merampas kebahagian milik
orang lain.
Secara
keseluruhan, buku ini bagus sekali. Nggak salah kenapa buku ini menjadi best seller. Dan buku ini aku
rekomendasikan wajib ada di rak perpustakaan sekolah dan wajib jadi bacaan
untuk tugas bahasa indonesia (karena aku yakin, remaja tidak akan mau membeli
buku ini dan mengoleksinya di antara novel romantis mereka).
Hati yang penuh dengan
kebencian tidak akan pernah mengenal kata puas. Kebencian adalah bara api kejam
yang menghabiskan energi orang yang menghidupinya. – hal 197
Sampai
jumpa di review selanjutnya ^^
***
Tulisan
ini diikutsertakan dalam:
- BloggerBuku Indonesia: Read & Review Challenge 2017 – Kategori Brick Book
- ProyekBaca Buku Perpustakaan 2017
akus uka abac kisah mahabrata dari sejak kecil
BalasHapusSEWAQQ.SITE
BalasHapusIDPRO.LINK