Minggu, 08 Januari 2017

[Review Buku] The Girl On The Train by Paula Hawkins :Tiga wanita dan tiga kehidupan yang dihubungan oleh satu kematian

The Girl on The Train
by Paula Hawkins
Penerbit Noura Books
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Penata Aksara: Axin
Perancang sampul: Wida Sartika
Cetakan ke-8; April 2016; 430 hlm
Rachel menaiki kereta komuter yang sama setiap pagi. Di pinggiran London, keretanya akan berhenti di sebuah sinyal perlintasan, tepat di depan rumah nomor lima belas. Tempat sepasang suami istri menjalani kehidupan yang tampak bahagia, bahkan nyaris sempurna. Pemandangan ini mengingatkan Rachel pada kehidupannya sendiri yang sebelumnya sempurna.
Pada suatu pagi, Rachel menyaksikan sesuatu yang mengejutkan. Hanya semenit sebelum kereta mulai bergerak, tapi itu pun sudah cukup. Kini pandangannya terhadap pasangan itu pun berubah.
Rutinitas Rachel Watson adalah berpergian dengan menggunakan kereta dari Ashbury – London. Pergi pagi dan pulang malam seoah-olah, menunjukan pada teman serumahnya, bahwa ia masih bekerja, yang nyatanya ia telah dipecat karena mabuk di saat jam kerja. Dalam perjalanannya itu, ia selalu memperhatikan sisi lain di luar sana dari dalam jendela kereta, dan yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah rumah bergaya semi victoria bernomor lima belas, dengan penghuni yang memperlihatkan kemesraan mereka di teras belakang rumah mereka. Secara tidak langsung, Rachel memberikan nama imajinasi pada mereka, Jason dan Jess. Bagi Rachel, mereka berdua adalah sosok sempurna dari kehidupan percintaan yang tidak pernah ia miliki.
Orang lain tidak melihat rumah-rumah ini dengan cara sepertiku; bahkan para pemilik rumah pun mungkin tidak melihat rumah mereka dari perspektif ini. Dua kali sehari aku disodori tawaran melihat kehidupan orang lain, walau sekejap saja. Ada sesuatu yang melegakan ketika melihat orang-orang asing berada di rumah dengan aman. ̶  Rachel Watson ; hal 2
Tapi bayangan sempurna itu rusak ketika Rachel melihat Jess sedang bersama pria lain di teras rumahnya, bukan Jason, pria yang Rachel yakini sangat mencintai Jess. Pemandangan itu membuat Rachel geram setengah mati, Jess sudah merusak bayangan kesempurnaan suatu hubungan yang telah ia bangun, lalu ia juga teringat pada kehidupan rumah tangganya yang rusak karena hal yang sama. Rasa geram itu berubah keterkejutan saat kabar seorang wanita muda bernama Megan menghilang.

Megan Hipwell, penghuni rumah nomor lima belas.

Rumah kesukaan Rachel.
Aku tidak mengerti betapa orang bisa dengan entengnya mengabaikan kerusakan yang mereka timbulkan gara-gara mengikuti kata hati mereka. Siapa bilang mengikuti kata hatimu adalah sesuatu yang baik? Itu egoisme murni, keegoisan tertinggi. – Rachel Watson : hal 40



Review
Saat review ini aku tulis, ini adalah kedua kalinya aku baca novel The Girl on The Train, dan tetap pada komentar pertamaku, alur novel ini berjalan lambat. Ini mungkin kelemahan terbesar suatu novel, karena pengembangan alur yang seperti ini membuat sebagian pembaca menyerah untuk melanjutkan ke halaman selanjutnya, belum lagi karakter Rachel yang suram membuat pembaca, khususnya aku, berpikir untuk apa karakter itu dijadikan tokoh utama. Dan jujur saja, tokoh-tokoh wanita dalam novel ini, tidak ada yang loveable.

Tapi jangan salah, nggak semua kelemahan itu menunjukan buruknya suatu kualitas.

Novel ini membuktikannya dengan penutupan yang luar biasa.

Kita dibawa untuk mengenal dan memahami tokoh utama wanita dalam novel ini. Kehidupan, penderitaan, apa yang tidak mereka senangi atau mereka senangi, serta sifat-sifat khas dari mereka yang ditonjolkan oleh Paula Hawkins secara detail. Justru disitulah Paula Hawkins menyelipkan clue-clue yang menuju pada pemecahan kasus ini. Aku baru ngeh setelah baca dua kali buku ini dengan seksama. Meski alur lambat (aku selalu nggak betah dengan alur lambat) tapi itu terbayarkan ketika ... WHOOAAA pelakunya ketahuan. Aku masih tetap tegang detik-detik menjelang terungkapnya pelaku.


Karakter
Karakter ini mungkin termasuk kelemahan, menurut aku. Karena biasanya novel itu membuat tokoh utamanya dicintai dan disukai secara tidak langsung oleh pembaca. Tapi, sekali lagi aku ingatkan, “kelemahan” dalam novel ini bukan sesuatu yang disepelekan, Paula Hawkins tau benar kemana tokoh dengan karakter ini dibawanya.

Rachel Watson, alkoholik, nggak bisa move on dari perceraian dengan Tom, kesepian, dipecat dari pekerjaan, penuh kepura-puraan, dan sedikit “bandel”. Cathy, teman serumahnya, alias yang memberi tumpangan tempat tinggal sudah berulang kali untuk menyuruh Rachel berhenti, tapi tetap aja diam-diam dia minum, sampai mabuk, muntah dan tidak sadarkan diri. Aku terkadang senewen saat mengetahui Rachel selalu kalah dengan minuman keras, dan sedikit gemas sama Cathy. Kalau aku jadi Cathy dan mendapati rumahku dimuntahi, dikencingi, aku sepertinya tidak akan sebaik Cathy. Tapi tiba-tiba dia jadi ikut merasa terlibat dengan menghilangnya Megan. Ia tahu bahwa polisi akan mengicar Jason (secara tidak langsung sosok suami favorit Rachel, tentunya dalam imajinasinya mengenal Scott sebagai Jason) dan ia pula yang melihat Megan terakhir kalinya, dari kereta, di teras rumah mereka sedang berciuman dengan laki-laki lain.

Megan Hipwell, seorang istri yang kurang puas dengan kehidupannya sekarang. Punya masa lalu yang dia sembunyikan rapat-rapat. Sebelumnya dia adalah seorang pelukis dan membuka galeri, ketika galeri tutup, ia banyak menghabiskan waktu di rumah. Dia mudah bosan, belum lagi insomia yang menganggunya hingga ia merasa hidupnya tidak sempurna. Tidak lengkap. Ada sesuatu yang kurang. Hingga ia “bermain api” di belakang suaminya.
Aku pernah melakukan kesalahan di masa lalu, dan itu mungkin saja terulang lagi. Aku bukan istri teladan. Tak peduli seberapa besar cintaku kepadanya, itu tidak akan cukup. – Megan Hipwell : hal 61
Itulah yang paling kusukai dari perselingkuhan ini: memiliki kekuasaan atas seseorang. Itulah yang memabukkan. – Megan Hipwell : hal 62
Anna Watson, istri sekaligus selingkuhan Tom. Ia bangga bisa menjadi selingkuhan, dan baginya ketika pria meninggalkan istrinya menjadi kemanangan tersendiri baginya. Telah menjadi ibu rumah tangga dengan putri kecil yang menemaninya. Ia merasa hidupnya sempurna, jika mengabaikan fakta bahwa Rachel masih sering menganggu kehidupan rumah tangganya dengan berbuat masalah dan akhirnya Tom harus turun tangan.
Menjadi kekasih gelap sangatlah menggairahkan, tidak ada gunanya menyangkal hal ini: kaulah yang membuat lelaki itu tidak berdaya hingga mengkhianati istrinya, walaupun dia mencintai istrinya. – Anna Watson : hal 311


POV
Aku tidak masalah sebenarnya dengan penggunaan sudut pandang orang pertama, apalagi sampai melibatkan tiga tokoh wanita dalam novel ini. Justru itu menciptakan sensasi tegang, penasaran seperti sedang bermain puzzle, dimana kepingan satu dan lainnya dipegang oleh tokoh lain. Jika kita jeli, kita bisa menyatukan ketiga piece tersebut hingga nggak akan butuh waktu lama untuk nebak pelakunya.

Seperti Rachel yang memegang piece paling penting dalam kasus ini. Ia sebenarnya ada di tempat kejadian ketika Megan hilang, akibat mabuk, tapi sialnya ingatan Rachel pada malam itu hilang. Ia terbangun keesokan paginya di kamarnya, dengan telanjang dan kepala dan tangan yang berdarah. Ia sama sekali tidak ingat apa-apa.

Anna, agak tersamarkan. Karena dari POV dia kita tahu ada “seseorang” yang menganggu kehidupan sempurnanya, yaitu Rachel. Dan Anna juga memegang satu piece berharga dalam kasus ini.

Megan, sebagai korban, bagian dia alurnya diceritakan mundur dari kedua tokoh sebelumnya, yaitu Rachel dan Anna. Bagian Megan diceritakan setahun sebelum ia menghilang, konflik dan bagaimana ia menyelesaikan masalah insomianya serta terlibat cinta dengan terapisnya, Dr. Kamal.


Similar
Novel ini secara tidak langsung mengingatkan aku sama novel Agatha Christie yang berjudul 4.50 from Paddington. Sama-sama berhubungan dengan kereta dan sama-sama tokoh utamanya perempuan, dan satu lagi persamaannya, sama-sama tidak dipercayai polisi.

Kalau Rachel tidak dipercayai polisi karena dia seorang pemabuk. Jadi saksinya yang mengatakan dia melihat Megan bersama pria lain di teras rumahnya, tidak dipercayai oleh polisi. Sedangkan Mrs. McGillicuddy tidak dipercayai polisi karena tidak ditemukan mayat sesuai kesaksiannya yang melihat seorang wanita dicekik di kereta api. Dan tidak ada orang yang membuat pernyataan kehilangan seseorang.

Di Girl on the Train, mayat Megan pun tidak ditemukan pada awalnya, begitu pula di 4.50 from Paddington. Bedanya, polisi tidak yakin apakah benar ada mayat yang dilihat oleh Mrs. McGillicuddy.

Yah meski punya beberapa persamaan, novel ini punya alur, plot dan ending yang beda jauh. Mungkin karena sama-sama tentang kereta aja makanya aku langsung teringat, dan mencoba mencocokannya.

Fakta Menarik
Ada satu fakta menarik yang aku sukai dari novel ini, yaitu ketika Megan merasa dirinya tidak masalah saat Scott memeriksa ponsel, email dan history internet.

Dari Dr. Kamal, aku baru tahu kalau melanggar privasi pasangan seperti mengecek ponsel, email, atau pun segala hal berbau privasi termasuk dalam penganiayaan emosi.
“Melanggar privasi seseorang hingga taraf itu tidaklah normal. Inilah yang sering kali dilihat sebagai bentuk penganiayaan emosi.” – hal 78
Tapi sayangnya sih nggak dijelaskan lebih lanjut, atau aku berharap ada sedikit saran dari Dr. Kamal tentang “penganiayaan emosi” tersebut.

Baru ingat, Bali ada disebut-sebut dalam novel ini. Aduh lupa pula catat halamannya. Pokoknya ketika aku baca bagian Tom menawari Anna liburan di Bali, aku malah tersenyum. Terlintas pikiran, “Ternyata Paula Hawkins tau Bali juga.”

Ending
Kepuasan yang aku dapat di ending, membuat aku mampu melupakan betapa jenuhnya aku menghadapi tokoh Rachel yang pemabuk. Megan yang selingkuh. Dan Anna yang terlalu sibuk memuja kehidupan barunya di atas penderitaan Rachel.

Berbeda dengan di 200 halaman pertama, ketika mendekati ending, alur menjadi sedikit lebih cepat. Jika diibaratkan dengan bayi, di awal-awal seperti merangkak, lalu ketika mendekati ending, sang bayi langsung berjalan cepat. Dan Woohooo!! Itu dia pelakunya.

Penyelesaian tidak hanya berakhir ketika pelaku ketahuan. Gimana usaha para tokoh untuk membuktikan bahwa dialah pelaku sebenarnya dan disitulah baru kepingan-kepingan puzzle Rachel, Anna dan Megan berhasil disatukan. Hingga wajah sang pembunuhlah yang nampak pada puzzle tersebut.

Ada perkelahian, dan menurut aku disini agak kasar—menjurus sadis—dan aku nggak sarankan dibaca oleh remaja-remaja dibawah umur.


Selebihnya, novel ini sangat aku rekomendasikan buat dibaca oleh pecinta thriller. Sensasi tebak menebak dan menyusun rangkaian clue membuat pikiran kita fokus pada novel ini. Pikiran kita tersedot hingga tidak sadar kalau pelaku sebenarnya bermain-main di depan bayang-bayang si pembaca.

Akhir kata, semoga menikmati ^^
Aku bisa mendengar burung-burung magpie itu—mereka tertawa, mengejekku, terkekeh parau. Ada kabar. Kabar buruk. Kini aku bisa melihat mereka, hitam dilatari matahari. Bukan burung-burung itu, tapi sesuatu yang lain. Seseorang datang. Seseorang bicara kepadaku. Kini lihatlah. Kini lihatlah apa yang terpaksa kulakukan.
***

Tulisan ini diikutsertakan dalam:
BBI: Read and Review Reading Challenge kategori Thriller and Crime Fiction

G+

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentarmu disini

 
;