The
Girl on The Train
by
Paula Hawkins
Penerbit
Noura Books
Penerjemah:
Ingrid Nimpoeno
Penyunting:
Rina Wulandari
Penata
Aksara: Axin
Perancang
sampul: Wida Sartika
Cetakan
ke-8; April 2016; 430 hlm
Rachel menaiki kereta komuter yang
sama setiap pagi. Di pinggiran London, keretanya akan berhenti di sebuah sinyal
perlintasan, tepat di depan rumah nomor lima belas. Tempat sepasang suami istri
menjalani kehidupan yang tampak bahagia, bahkan nyaris sempurna. Pemandangan
ini mengingatkan Rachel pada kehidupannya sendiri yang sebelumnya sempurna.
Pada suatu pagi, Rachel menyaksikan
sesuatu yang mengejutkan. Hanya semenit sebelum kereta mulai bergerak, tapi itu
pun sudah cukup. Kini pandangannya terhadap pasangan itu pun berubah.
Rutinitas Rachel Watson adalah
berpergian dengan menggunakan kereta dari Ashbury – London. Pergi pagi dan
pulang malam seoah-olah, menunjukan pada teman serumahnya, bahwa ia masih
bekerja, yang nyatanya ia telah dipecat karena mabuk di saat jam kerja. Dalam
perjalanannya itu, ia selalu memperhatikan sisi lain di luar sana dari dalam
jendela kereta, dan yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah rumah
bergaya semi victoria bernomor lima belas, dengan penghuni yang memperlihatkan
kemesraan mereka di teras belakang rumah mereka. Secara tidak langsung, Rachel
memberikan nama imajinasi pada mereka, Jason dan Jess. Bagi Rachel, mereka
berdua adalah sosok sempurna dari kehidupan percintaan yang tidak pernah ia
miliki.
Orang lain tidak melihat rumah-rumah
ini dengan cara sepertiku; bahkan para pemilik rumah pun mungkin tidak melihat
rumah mereka dari perspektif ini. Dua kali sehari aku disodori tawaran melihat
kehidupan orang lain, walau sekejap saja. Ada sesuatu yang melegakan ketika melihat
orang-orang asing berada di rumah dengan aman. ̶ Rachel Watson ; hal
2
Tapi bayangan sempurna itu rusak
ketika Rachel melihat Jess sedang bersama pria lain di teras rumahnya, bukan
Jason, pria yang Rachel yakini sangat mencintai Jess. Pemandangan itu membuat
Rachel geram setengah mati, Jess sudah merusak bayangan kesempurnaan suatu
hubungan yang telah ia bangun, lalu ia juga teringat pada kehidupan rumah
tangganya yang rusak karena hal yang sama. Rasa geram itu berubah keterkejutan
saat kabar seorang wanita muda bernama Megan menghilang.
Megan Hipwell, penghuni rumah
nomor lima belas.
Rumah kesukaan Rachel.
Aku tidak mengerti betapa orang bisa
dengan entengnya mengabaikan kerusakan yang mereka timbulkan gara-gara
mengikuti kata hati mereka. Siapa bilang mengikuti kata hatimu adalah sesuatu
yang baik? Itu egoisme murni, keegoisan tertinggi. – Rachel Watson : hal 40
Review
Saat review ini aku tulis, ini
adalah kedua kalinya aku baca novel The Girl on The Train, dan tetap pada
komentar pertamaku, alur novel ini berjalan lambat. Ini mungkin kelemahan
terbesar suatu novel, karena pengembangan alur yang seperti ini membuat
sebagian pembaca menyerah untuk melanjutkan ke halaman selanjutnya, belum lagi
karakter Rachel yang suram membuat pembaca, khususnya aku, berpikir untuk apa
karakter itu dijadikan tokoh utama. Dan jujur saja, tokoh-tokoh wanita dalam
novel ini, tidak ada yang loveable.
Tapi jangan salah, nggak semua
kelemahan itu menunjukan buruknya suatu kualitas.
Novel ini membuktikannya dengan
penutupan yang luar biasa.
Kita dibawa untuk mengenal dan
memahami tokoh utama wanita dalam novel ini. Kehidupan, penderitaan, apa yang
tidak mereka senangi atau mereka senangi, serta sifat-sifat khas dari mereka
yang ditonjolkan oleh Paula Hawkins secara detail. Justru disitulah Paula Hawkins
menyelipkan clue-clue yang menuju pada pemecahan kasus ini. Aku baru ngeh
setelah baca dua kali buku ini dengan seksama. Meski alur lambat (aku selalu
nggak betah dengan alur lambat) tapi itu terbayarkan ketika ... WHOOAAA
pelakunya ketahuan. Aku masih tetap tegang detik-detik menjelang terungkapnya
pelaku.
Karakter
Karakter ini mungkin termasuk
kelemahan, menurut aku. Karena biasanya novel itu membuat tokoh utamanya
dicintai dan disukai secara tidak langsung oleh pembaca. Tapi, sekali lagi aku
ingatkan, “kelemahan” dalam novel ini bukan sesuatu yang disepelekan, Paula
Hawkins tau benar kemana tokoh dengan karakter ini dibawanya.
Rachel Watson, alkoholik, nggak
bisa move on dari perceraian dengan
Tom, kesepian, dipecat dari pekerjaan, penuh kepura-puraan, dan sedikit
“bandel”. Cathy, teman serumahnya, alias yang memberi tumpangan tempat tinggal
sudah berulang kali untuk menyuruh Rachel berhenti, tapi tetap aja diam-diam
dia minum, sampai mabuk, muntah dan tidak sadarkan diri. Aku terkadang senewen
saat mengetahui Rachel selalu kalah dengan minuman keras, dan sedikit gemas
sama Cathy. Kalau aku jadi Cathy dan mendapati rumahku dimuntahi, dikencingi,
aku sepertinya tidak akan sebaik Cathy. Tapi tiba-tiba dia jadi ikut merasa
terlibat dengan menghilangnya Megan. Ia tahu bahwa polisi akan mengicar Jason
(secara tidak langsung sosok suami favorit Rachel, tentunya dalam imajinasinya
mengenal Scott sebagai Jason) dan ia pula yang melihat Megan terakhir kalinya,
dari kereta, di teras rumah mereka sedang berciuman dengan laki-laki lain.
Megan Hipwell, seorang istri yang
kurang puas dengan kehidupannya sekarang. Punya masa lalu yang dia sembunyikan
rapat-rapat. Sebelumnya dia adalah seorang pelukis dan membuka galeri, ketika galeri
tutup, ia banyak menghabiskan waktu di rumah. Dia mudah bosan, belum lagi
insomia yang menganggunya hingga ia merasa hidupnya tidak sempurna. Tidak
lengkap. Ada sesuatu yang kurang. Hingga ia “bermain api” di belakang suaminya.
Aku pernah melakukan kesalahan di
masa lalu, dan itu mungkin saja terulang lagi. Aku bukan istri teladan. Tak
peduli seberapa besar cintaku kepadanya, itu tidak akan cukup. – Megan Hipwell
: hal 61
Itulah yang paling kusukai dari
perselingkuhan ini: memiliki kekuasaan atas seseorang. Itulah yang memabukkan.
– Megan Hipwell : hal 62
Anna Watson, istri sekaligus
selingkuhan Tom. Ia bangga bisa menjadi selingkuhan, dan baginya ketika pria
meninggalkan istrinya menjadi kemanangan tersendiri baginya. Telah menjadi ibu
rumah tangga dengan putri kecil yang menemaninya. Ia merasa hidupnya sempurna,
jika mengabaikan fakta bahwa Rachel masih sering menganggu kehidupan rumah tangganya
dengan berbuat masalah dan akhirnya Tom harus turun tangan.
Menjadi kekasih gelap sangatlah
menggairahkan, tidak ada gunanya menyangkal hal ini: kaulah yang membuat lelaki
itu tidak berdaya hingga mengkhianati istrinya, walaupun dia mencintai
istrinya. – Anna Watson : hal 311
POV
Aku tidak masalah sebenarnya
dengan penggunaan sudut pandang orang pertama, apalagi sampai melibatkan tiga
tokoh wanita dalam novel ini. Justru itu menciptakan sensasi tegang, penasaran
seperti sedang bermain puzzle, dimana
kepingan satu dan lainnya dipegang oleh tokoh lain. Jika kita jeli, kita bisa menyatukan
ketiga piece tersebut hingga nggak
akan butuh waktu lama untuk nebak pelakunya.
Seperti Rachel yang memegang piece paling penting dalam kasus ini. Ia
sebenarnya ada di tempat kejadian ketika Megan hilang, akibat mabuk, tapi
sialnya ingatan Rachel pada malam itu hilang. Ia terbangun keesokan paginya di
kamarnya, dengan telanjang dan kepala dan tangan yang berdarah. Ia sama sekali
tidak ingat apa-apa.
Anna, agak tersamarkan. Karena
dari POV dia kita tahu ada “seseorang” yang menganggu kehidupan sempurnanya,
yaitu Rachel. Dan Anna juga memegang satu piece
berharga dalam kasus ini.
Megan, sebagai korban, bagian dia
alurnya diceritakan mundur dari kedua tokoh sebelumnya, yaitu Rachel dan Anna.
Bagian Megan diceritakan setahun sebelum ia menghilang, konflik dan bagaimana
ia menyelesaikan masalah insomianya serta terlibat cinta dengan terapisnya, Dr.
Kamal.
Similar
Novel ini secara tidak langsung
mengingatkan aku sama novel Agatha Christie yang berjudul 4.50 from Paddington.
Sama-sama berhubungan dengan kereta dan sama-sama tokoh utamanya perempuan, dan
satu lagi persamaannya, sama-sama tidak dipercayai polisi.
Kalau Rachel tidak dipercayai
polisi karena dia seorang pemabuk. Jadi saksinya yang mengatakan dia melihat
Megan bersama pria lain di teras rumahnya, tidak dipercayai oleh polisi.
Sedangkan Mrs. McGillicuddy tidak dipercayai polisi karena tidak ditemukan mayat
sesuai kesaksiannya yang melihat seorang wanita dicekik di kereta api. Dan
tidak ada orang yang membuat pernyataan kehilangan seseorang.
Di Girl on the Train, mayat Megan
pun tidak ditemukan pada awalnya, begitu pula di 4.50 from Paddington. Bedanya,
polisi tidak yakin apakah benar ada mayat yang dilihat oleh Mrs. McGillicuddy.
Yah meski punya beberapa
persamaan, novel ini punya alur, plot dan ending yang beda jauh. Mungkin karena
sama-sama tentang kereta aja makanya aku langsung teringat, dan mencoba
mencocokannya.
Fakta Menarik
Ada satu fakta menarik yang aku
sukai dari novel ini, yaitu ketika Megan merasa dirinya tidak masalah saat
Scott memeriksa ponsel, email dan history internet.
Dari Dr. Kamal, aku baru tahu
kalau melanggar privasi pasangan seperti mengecek ponsel, email, atau pun
segala hal berbau privasi termasuk dalam penganiayaan emosi.
“Melanggar privasi seseorang hingga
taraf itu tidaklah normal. Inilah yang sering kali dilihat sebagai bentuk
penganiayaan emosi.” – hal 78
Tapi sayangnya sih nggak
dijelaskan lebih lanjut, atau aku berharap ada sedikit saran dari Dr. Kamal
tentang “penganiayaan emosi” tersebut.
Baru ingat, Bali ada
disebut-sebut dalam novel ini. Aduh lupa pula catat halamannya. Pokoknya ketika
aku baca bagian Tom menawari Anna liburan di Bali, aku malah tersenyum.
Terlintas pikiran, “Ternyata Paula Hawkins tau Bali juga.”
Ending
Kepuasan yang aku dapat di ending, membuat aku mampu melupakan betapa jenuhnya aku menghadapi tokoh Rachel yang pemabuk. Megan yang
selingkuh. Dan Anna yang terlalu sibuk memuja kehidupan barunya di atas
penderitaan Rachel.
Berbeda dengan di 200 halaman
pertama, ketika mendekati ending, alur menjadi sedikit lebih cepat. Jika
diibaratkan dengan bayi, di awal-awal seperti merangkak, lalu ketika mendekati
ending, sang bayi langsung berjalan cepat. Dan Woohooo!! Itu dia pelakunya.
Penyelesaian tidak hanya berakhir
ketika pelaku ketahuan. Gimana usaha para tokoh untuk membuktikan bahwa dialah
pelaku sebenarnya dan disitulah baru kepingan-kepingan puzzle Rachel, Anna dan
Megan berhasil disatukan. Hingga wajah sang pembunuhlah yang nampak pada puzzle
tersebut.
Ada perkelahian, dan menurut aku
disini agak kasar—menjurus
sadis—dan aku nggak
sarankan dibaca oleh remaja-remaja dibawah umur.
Selebihnya, novel ini sangat aku
rekomendasikan buat dibaca oleh pecinta thriller. Sensasi tebak menebak dan
menyusun rangkaian clue membuat pikiran kita fokus pada novel ini. Pikiran kita
tersedot hingga tidak sadar kalau pelaku sebenarnya bermain-main di depan
bayang-bayang si pembaca.
Akhir kata, semoga menikmati ^^
Aku bisa mendengar burung-burung
magpie itu—mereka
tertawa, mengejekku, terkekeh parau. Ada kabar. Kabar buruk. Kini aku bisa
melihat mereka, hitam dilatari matahari. Bukan burung-burung itu, tapi sesuatu
yang lain. Seseorang datang. Seseorang bicara kepadaku. Kini lihatlah. Kini lihatlah apa yang
terpaksa kulakukan.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:
BBI: Read and Review Reading Challenge kategori Thriller and Crime Fiction
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentarmu disini