Sabtu Bersama Bapak
oleh Adithya Mulya
Penerbit GagasMedia
Penyunting oleg Resita Wahyu Febiarti
Desainer Sampul oleh Jefri Fernando
Cetakan Pertama; 2014; 278 hlm
Rate 4 of 5
“Hai, Satya! Hai, Cakra!” Sang Bapak
melambaikan tangan.
“Ini Bapak.
Iya, benar kok, ini Bapak.
Bapak cuma pindah ke tempat lain.
Gak sakit. Alhamdulillah, berkat doa Satya dan Cakra.
…
Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian.
Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian.
Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian.
Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian.
Ingin tetap dapat mengajarkan
kalian.
Bapak sudah siapkan.
Ketika punya pertanyaan, kalian
tidak pernah perlu bingung ke mana harus mencari jawaban.
I don’t let death take these, away
from us.
I don’t give death, a chance.
Bapak ada di sini. Di samping
kalian.
Bapak sayang kalian.”
Ini adalah sebuah cerita. Tentang
seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar
menjadi bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka
dengan penuh kasih. Dan…, tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan
berjanji selalu ada bersama mereka.
Satya dan Cakra tumbuh dewasa ditemani oleh video-video yang
di rekam Bapak saat beliau di vonis hanya memiliki hidup satu tahun lagi.
Penyakit kanker yang di deritanya, membuat Bapak sadar bahwa ia tidak akan bisa
menemani, membimbing dan menjaga anak laki-lakinya hingga tumbuh dewasa. Video
yang berisi nasihat dan rekaman kejadian yang penuh pembelajaran di rekam
diharapkan bisa menjadi bekal buat masa depan mereka. Dan setiap hari sabtu,
Satya dan Cakra di izinkan untuk melihat video tersebut.
Keluarga ini adalah tanggung
jawabnya, di alam mana pun ia berada. – Hal 30
Satya yang berwajah tampan dan pintar serta memiliki
pekerjaan bagus di kilang minyak, Denmark, memiliki kehidupan sempurna dengan
seorang istri yang cantik dan ketiga anak laki-laki yang baik. Tapi Satya
terlalu menerapkan standar yang tinggi pada anak-anaknya, hingga kesalahan atau
kecerobohan sekecil apa pun akan membuat Satya murka. Sang istri pun tidak
lepas dari amarah Satya yang menggebu-gebu, hingga membuat jarak yang cukup
jauh di antara mereka.
Cakra tidak setampan abangnya. Penampilan yang biasa di tambah
dengan wajah yang biasa, membuat Cakra sulit ─bahkan sangat sulit─ menemukan wanita yang mau menjadi
kekasihnya. Akhirnya Cakra berhenti mencari dan mengejar kariernya. Ia memiliki
kedudukan yang bagus di bank asing dan sudah mampu memiliki rumah. Kehidupannya
mapan dan sangat terjamin. Saat usia sudah menginjak 30 tahun, Cakra mulai
serius mencari istri. Dan pilihannya jatuh pada Ayu, gadis cantik yang menjadi
incaran Salman, cowok tebar pesona, yang secara fisik dan mental mendekati
cewek jauh di atas Cakra. Tapi ia tidak menyerah meski Ayu tidak memberi respon
kepedulian Cakra padanya. Hingga suatu hari, Cakra mendengar kabar Salman sudah
menembak Ayu.
“Saka membuktikan kepada diri
sendiri dulu. Bahwa Saka siap lahir batin untuk jadi suami. Makanya kejar
karier dulu. Belajar agama dulu. Nabung dulu. Kalau Saka udah pede sama diri
sendiri, Saka akan pede sama perempuan.” – Saka (hal 17)