Kamis, 16 Juni 2016

[Review Buku] Sabtu Bersama Bapak - Adithya Mulya

Sabtu Bersama Bapak
oleh Adithya Mulya
Penerbit GagasMedia
Penyunting oleg Resita Wahyu Febiarti
Desainer Sampul oleh Jefri Fernando
Cetakan Pertama; 2014; 278 hlm
Rate 4 of 5

“Hai, Satya! Hai, Cakra!” Sang Bapak melambaikan tangan.
“Ini Bapak.
Iya, benar kok, ini Bapak.
Bapak cuma pindah ke tempat lain. Gak sakit. Alhamdulillah, berkat doa Satya dan Cakra.

Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian.
Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian.
Ingin tetap dapat mengajarkan kalian.
Bapak sudah siapkan.
Ketika punya pertanyaan, kalian tidak pernah perlu bingung ke mana harus mencari jawaban.
I don’t let death take these, away from us.
I don’t give death, a chance.
Bapak ada di sini. Di samping kalian.
Bapak sayang kalian.”
Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan…, tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama mereka.
Satya dan Cakra tumbuh dewasa ditemani oleh video-video yang di rekam Bapak saat beliau di vonis hanya memiliki hidup satu tahun lagi. Penyakit kanker yang di deritanya, membuat Bapak sadar bahwa ia tidak akan bisa menemani, membimbing dan menjaga anak laki-lakinya hingga tumbuh dewasa. Video yang berisi nasihat dan rekaman kejadian yang penuh pembelajaran di rekam diharapkan bisa menjadi bekal buat masa depan mereka. Dan setiap hari sabtu, Satya dan Cakra di izinkan untuk melihat video tersebut.
Keluarga ini adalah tanggung jawabnya, di alam mana pun ia berada. – Hal 30
Satya yang berwajah tampan dan pintar serta memiliki pekerjaan bagus di kilang minyak, Denmark, memiliki kehidupan sempurna dengan seorang istri yang cantik dan ketiga anak laki-laki yang baik. Tapi Satya terlalu menerapkan standar yang tinggi pada anak-anaknya, hingga kesalahan atau kecerobohan sekecil apa pun akan membuat Satya murka. Sang istri pun tidak lepas dari amarah Satya yang menggebu-gebu, hingga membuat jarak yang cukup jauh di antara mereka.

Cakra tidak setampan abangnya. Penampilan yang biasa di tambah dengan wajah yang biasa, membuat Cakra sulit bahkan sangat sulit menemukan wanita yang mau menjadi kekasihnya. Akhirnya Cakra berhenti mencari dan mengejar kariernya. Ia memiliki kedudukan yang bagus di bank asing dan sudah mampu memiliki rumah. Kehidupannya mapan dan sangat terjamin. Saat usia sudah menginjak 30 tahun, Cakra mulai serius mencari istri. Dan pilihannya jatuh pada Ayu, gadis cantik yang menjadi incaran Salman, cowok tebar pesona, yang secara fisik dan mental mendekati cewek jauh di atas Cakra. Tapi ia tidak menyerah meski Ayu tidak memberi respon kepedulian Cakra padanya. Hingga suatu hari, Cakra mendengar kabar Salman sudah menembak Ayu.
“Saka membuktikan kepada diri sendiri dulu. Bahwa Saka siap lahir batin untuk jadi suami. Makanya kejar karier dulu. Belajar agama dulu. Nabung dulu. Kalau Saka udah pede sama diri sendiri, Saka akan pede sama perempuan.” – Saka (hal 17)


My Review

Ide cerita cukup menarik. Baca blurb di cover belakang aja kayaknya udah seru, karena sang Bapak yang jadi “tokoh utama” dalam cerita ini udah meninggal. Kita akan disuguhi tentang Bapak dari video-video yang beliau tinggalkan untuk Satya dan Cakra.

Cukup aneh pertama aku rasa karena setelah prolog, cerita berlanjut ke masa kecil Satya dan Cakra yang dijelaskan cukup minim. Aku, sebagai pembaca tidak mengenal karakter Satya dan Cakra waktu kecil, karena mas Adithya memang tidak memfokuskan ke hal tersebut. Dan kisah berlanjut ketika mereka dewasa. Yang menjadi pertanyaan aku sih, kenapa kehidupan Cakra duluan yang diceritakan? Bukannya lebih cocok kalau Satya duluan, karena dia abangnya. Yah memang sih terserah sama penulisnya, Cuma kan “biasanya” yang duluan itu berarti lebih tua usianya. Anggap aja ini pertanyaan yang nggak penting, tapi aku memang penasaran sih hehe

Karakter

Aku suka karakter Cakra. Dia sosok yang pasti di idamkan calon istri manapun. Sengaja nggak sebut wanita karena nggak semua wanita punya niat menjadi istri. Dia bershaja, ramah, pintar, baik pokoknya dia perfect lah. Dan di balik kesempurnaannya itu ia punya kelemahan yang besar juga, yaitu fisik pas-pasan. Aku suka banget bagian pas para bawahan/anak buah Cakra, “ngehina” dia secara terang-terangan di depan Cakra. Pokoknya gokil lah, apalagi pas bagian kirim-kiriman email. Satya sendiri nggak ada yang special sih. Malah agak cenderung cepat banget berubahnya, dari yang galak jadi adem ayem.


Alur

Udah jelas maju-mundur. Karena video Bapak yang selalu muncul ketika Satya dan Cakra butuh ilham atau sedang bercerita pengalaman berdasarkan video tersebut. Agak disayangkan sih menurut aku. Karena aku pikir video Bapak yang ngasih petuah bakal banyak banget, tapi sayangnya ini nggak. Yah Cuma beberapa. Nongolnya pas memang sang tokoh utama Satya dan Cakra “butuh” video tersebut.

Tapi aku sangat-sangat menikmati setiap halaman membaca tentang Satya dan Cakra. Bukan hanya dari video Bapak, tapi dari kedua laki-laki itu kita bisa belajar banyak hal. Banyak hal juga yang patut menjadi pegangan hidup kita. Sebagai contoh, aku suka bagian dimana Bapak menjelaskan tentang prestasi dan attitude.

Pernah dengar nggak alasan yang sering di pakai mahasiswa senior yang sering banget ngulang mata kuliah atau sering banget bolos karena mereka mentingin kegiatan organisasi daripada kampus? Yup, alasan yang sering mereka pakai adalah dunia kerja membutuhkan pengalaman bukan IPK tinggi apalagi kumlot. Dari pengalaman akan menciptakan koneksi sana sini. Mulai dari pemikiran itu, mereka malas ke kampus dan malas menyelesaikan mata kuliah hingga banyak ketinggalan. Masalahnya, junior-junior termakan dengan omong kosong itu. Di salah satu pesan Bapak, akan di jelaskan pentingnya IPK yang tinggi untuk apa.


Ending

Satu lagi yang disayangkan. Endingnya terlalu biasa dan tidak ada yang special. Happy ending untuk kedua belah pihak dan yah tidak menggugah.
“Saya suka sedih setiap kali ada orangtua yang memberi beban seperti itu pada anak sulungnya. Menjadi panutan bukan tugas anak sulungkepada adik-adiknya. Menjadi panutan adalah tugas orangtuauntuk semua anak.” – Bapak (hal 106)
Secara keseluruhan aku menyukai novel ini. Apalagi penulis terkadang menyelipkan humor yang menggelitik dan bikin senyam senyum sendiri hehe. Buku ini aku sebenarnya cocok untuk segala usia, tapi ada beberapa bagian Satya, adegan dewasanya yah lumayan ada. Nggak banyak dan nggak kentara juga. Cocok lah buat remaja.

Sampai jumpa di review selanjutnya ^^
Meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri diri bahwa dia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia kepada orang yang dimintakaan maaf. Tidak meminta maaf membuat seseorang terlihat bodoh dan arogan. – hal 80
***


G+

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentarmu disini

 
;