Rabu, 21 Desember 2016

[Review Buku] Revolusi by Reza Nufa


Revolusi
by Reza Nufa
Penerbit Bypass
Editor: Surip Prayugo
Desain sampul: Astiania P.
Cetakan ke-1; juni 2013; 279 hlm
Rate 3 of 5

Malam ini Dira ulang tahun. Irham membawanya ke lantai tertinggi sebuah gedung yang baru separuh jadi. Dira terkejut. Ternyata sudah ada meja bundar kecil ditemani dua kursi, sedikit makanan di atasnya, serta beberapa lilin yang membuat suasana romantis. Di kursi itu mereka saling tatap. Lama terdiam untuk mengerti hati masing-masing. 
 
“Aku sayang kamu, Ra,” tegas Irham seketika.  
Deg! Jantung Dira berdetak kencang. Lelaki ini benar-benar membuatnya hanyut. Namun, sedetik kemudian, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Fajar tertera di layarnya. “Ada apa?” ucap Dira tanpa basa-basi. 
“Coba kamu buka jendela kamar kamu, terus lihat ke langit.” 
“... emangnya ada apa?” 
“Siap ya.” Fajar menghitung perlahan, “Satu... Dua... Tiga...” Tepat ketika hitungan ke tiga, gemerlap kembang api mewarnai langit malam itu. Langit yang kelam berubah dengan warna-warni nan indah.  
“Kamu lihat itu, Ra?” Fajar menghela napas. “Itu untuk kamu! Happy Birthday ya, Ra.” 
Dira hanya tertegun. Dia dipojokkan pada dua pilihan yang membuatnya bingung. 
Belum usai kebingungan itu, beberapa hari kemudian ketiganya dipertemukan pada sebuah demo. Irham yang merupakan seorang polisi menjaga gedung DPR/MPR dari serbuan para demonstran, salah satunya Fajar. Sedang Dira yang mengkhawatirkan keduanya, terpaksa menyusul mereka. Di tengah kerusuhan besar, cintanya terombang-ambing antara dua lelaki yang berhadapan.  
Lalu, pada siapa hatinya berlabuh?  
Si polisi, atau demostran?

Dira terjebak di antara dua pria yang ia cintai dan yang mencintainya. Irham, laki-laki yang berhasil merenggut hati Dira, adalah seorang polisi yang kehadirannya tidak bisa Dira rasakan. Kesibukannya sebagai polisi yang berpangkat rendah, selalu menghabiskan seluruh waktunya. Fajar, ketua BEM fakultas ekonomi tempat Dira kuliah, mencintai Dira dan selalu berusaha berada di dekatnya. Membuat Dira tersenyum adalah kesenangan tersendiri bagi Fajar.

Dan ketika demo aksi besar-besaran terjadi, Irham dan Fajar bertemu sebagai pihak yang saling bertentangan. Hingga Dira harus memilih salah satunya, laki-laki yang ia cintai atau laki-laki yang mencintainya.





Review
Sempat bingung juga mau kasih penilaian tentang novel ini. Di satu sisi, novel ini menunjukan dua sisi dengan sangat baik. Bagaimana Fajar, seorang mahasiswa yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi dan menuntut keadilan bagi negeri tercinta, menjadi demonstran yang sering turun ke jalan untuk menyuarakan suaranya. Dan bagaimana Irham, sebagai polisi yang bertugas untuk menghalangi para demonstran yang berubah anarkis mencoba cara kekerasan untuk mendobrak pertahanan, terkadang merasa tidak enak hati. Rakyat yang harusnya ia lindungi, malah dengan tangannya sendiri ia lukai.

Dilema untuk kedua hal tersebut, dapet banget. Mungkin Reza lebih lihai dalam hal seperti itu.

Kenapa?

Karena ketika masuk ke bagian cinta-cintaannya, aduh *nggak enak ngomongnya* aku mendadak malas. Antara lanjut atau nggak.


Karakter
Dira jelas bukan tokoh cewek favoritku. Tingkahnya itu asli manja level akut dan labil nggak karuan. Dikit-dikit ngambek. Dikit-dikit merajuk. Irham nggak bisa antar jemput dia tiap hari, udah ngambek. Fajar nggak mau nurunin Dira di pos polisi tempat biasa Irham jaga, marah sampai nggak ngomong berhari-hari. Trus bibir suka dimanyunin, sok imut gitu. Dalam hati, “ih cape dech!” Dan tanda tanya besar kenapa cowok kayak Fajar dan Irham naksir berat sama ini cewek menjadi tanda tanya besar buat aku. Karena jujur aja, nggak ada satupun dari dialog atau aksi Dira di dalam novel ini bikin aku suka sama dia.

Irham, sebenarnya sosok yang bersahaja. Dia tegas sekaligus lembut. Secara karakter dia tokoh yang cukup menawan. Bahkan dia berani menolak permintaan Dira, cewek yang ia cintai demi menjalankan tugasnya. Tapi nyebelinnya Irham suka ngilang tanpa kabar, karena kesibukannya sebagai polisi dengan pangkat rendah.

Fajar, agak nggak sesuai dengan bayangan aku sebagai cowok yang suka demo. Apa ya, dia itu ketua BEM dan sibuk dengan aksi demo,tapi dia juga kayaknya santai-santai aja antar jemput Dira setiap hari. Ada satu adegan yang aku nggak suka dari Fajar. Dia rela ninggalin kuliah yang sedang dia ikuti, demi antarin Dira pulang. Hello, emangnya cewek itu nggak bisa nunggu apa? Nggak akan mati kan si Dira kalau Cuma nunggu 30 menit atau sejam?


Tema
Tema yang diusung bagus banget. Ringkasan-ringkasan berita politik tentang negeri ini menjadi cuplikan yang menarik untuk dibaca. Pendapat-pendapat pribadi Reza tersalurkan melalui Fajar, dan perdebatan menarik dengan ayah Dira juga kadang unik, karena bertentangan dengan Fajar meski  kedua pihak sama-sama membela negara ini.

Sudut pandang Irham sebagai polisi pun menarik. Kita nggak bisa nyalahin sepenuhnya jika seandainya polisi melakukan kekerasan, karena memang terkadang demonstran itu bisa menjadi begitu keras kepala dan bengal. Kita juga di ajak untuk melihat keseharian polisi berpangkat rendah seperti Irham. Gimana mereka sebenarnya banyak bersabar kalau mengatur lalu lintas di tengah jalanan macet (setting novel ini di Jakarta.


Kisah Cinta
Nah ini yang bikin males. Baik Fajar atau Irham sama-sama bikin kisah cinta dalam novel ini jadi menye-menye nggak jelas. Ditambah Dira yang labil, sekali rindu sama Irham, sekali kangen sama Fajar. Sekali berantam sama Irham, sekali berantam sama Fajar. Pokoknya nggak jelas lah. Dialog antar mereka pun, ampun dech. Aku jamin nggak akan ada kalimat seperti itu di kehidupan nyata. Setidaknya, aku nggak pernah ucapin kata-kata sok imut atau dengerin kata gombal garing ala Fajar. Kebetulan aja Irham nggak ngegombal, jadi nilai plus sendiri buat dia.



Yah kecuali kata-kata sayang haha.. itu umum sekali di lingkungan kita. Anak SD juga udah pinter ngomong sayang dan cinta. Kayak paham aja artinya. Nah kalau ini suka bikin aku kesal sendiri. Cenderung ke takut sih, karena udah punya anak juga. *kan malah curhat XD


Ending
Nah ending ini agak disayangkan. Menurut aku endingnya bisa jadi lebih bagus, apalagi dengan setting aksi para demostran dan polisi yang memanas hingga memakan korban ratusan orang. Sayangnya lagi, eksekusinya kurang nendang. Kurang bisa buat aku mewek (atau memang aku yang kebal sama ginian) dan kurang terasa emosinya. Jadinya terasa flat gitu.


Secara keseluruhan ada suka dan yang nggak aku suka dari novel ini. Tapi untuk bacaan selingan, boleh lah. Itung-itung nambah review di postingan. Cocok untuk dibaca sama remaja juga. Biar mereka tahu, demo dengan tindakan anarkis itu Cuma ngerugikan diri sendiri dan orang lain.

Sampai jumpa di review selanjutnya ^^



***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:


G+

3 komentar:

  1. Keren nih,jadi pengen baca full bukunya.. 😊
    Btw, salam kenal..

    BalasHapus
  2. Menarik ceritanya, demonstran vs polisi. Blm pernah nemu cerita serupa

    BalasHapus

Berikan komentarmu disini

 
;