Selasa, 14 Februari 2017

[Review Buku] Denting Lara - K. Fischer


Judul: Denting Lara
Penulis: K. Fischer
Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer
Penyunting: Novalya Putri
Desain Cover: Aluycia Suceng
Penata etak: Sinta A
Cetakan ke-1; Januari 2015; 317 halaman


Blurb

Esa tinggal hanya dengan ibu dan pengasuhnya dari kecil. Ibunya yang hanya memikirkan dirinya sendiri, membuat Esa tak merasakan kasih sayang. Terlebih, ayahnya menikah lagi dengan wanita yang tak menginginkan "boncengan" dari suami barunya.

Di sekolah, karena beberapa kali menolak untuk diajak clubbing, Esa kehilangan sahabatnya Ia bahkan dijauhi teman-teman satu sekolah. 

Saat Esa merasa sendirian, sosok Erik datang menemani hari-hari Esa. Dengan Erik, Esa menemukan jati dirinya. Namun saat Esa mulai mencintai Erik, ibunya malah melakukan hal di luar dugaannya. Keadaan semakin parah ketika ayahnya tahu Esa menjalin hubungan dengan lelaki yang berusia nyaris dua kali umur anaknya.


Sinopsis

“Bukan cinta kita yang salah, tapi waktunya. Yang kita miliki adalah cinta yang murni tetapi pada waktu yang keliru.” – hal 261

Esa gadis remaja berusia 17 tahun, cukup tangguh untuk seusianya. Setelah ayah dan ibunya bercerai, Esa harus terpaksa tingga bersama ibunya. Ibu yang sama sekali tidak peduli keberadaaan Esa, bahkan membiarkan Esa kelaparan. Ayahnya tidak lebih baik lagi, ia hanya melakukan tugasnya sebagai pemberi uang jajan untuk anaknya. Selebihnya ia tidka peduli. Hanya Bi Titin, wanita tua, pengasuhnya sejak kecil yang peduli dan selalu setia menemani Esa.

Di tengah Esa kebingungan kehabisan uang untuk makan sehari-hari, Erik laki-laki mapan berusia 34 tahun menyewa pavilliun milik keluarga Esa yang berada di dekat rumah mereka. Ternyata Esa harus menelan kecewa ketika Erik sudah menyerahkan uang sewa pada mamanya. Masalah lain pun menghampiri Esa, teman-teman Esa pun memusuhinya karena ia sering menolak ikut clubbing bersama geng teman-teman kayanya. Hingga Esa benar-benar merasakan arti sendiri dan tidak punya seorang pun.

Saat memainkan kontrabasnya seorang diri dengan perasaan yang sedih, Erik tertarik untuk mengenal gadis belia yang mampu memainkan alat musik seindah dan sepedih itu. Ia ingin menawarkan persahabatan, yang bersambut baik. Hari-hari Esa kembali ceria. Bi Titin mendapat uang tambahan dari mencuci dan memasak untuk Erik. Esa merasa sempurna.

Sampai mamanya memutuskan, Erik akan menjadi papa baru Esa ...

Betapa ingin ia melindungi Erik dari ibunya sendiri. Betapa harapannya akan kesadaran ibunya punah sudah. – ha 185



Review

Kalau mau jujur, aku pilih buku ini di antara ribuan buku iJak adalah karena covernya. Sukaaa sekali sama covernya. Tipe-tipe buku yang bakalan cantik kalau di pajang di lemari buku terus di kacain. Atau tipe-tipe buku yang cocok banget di foto trus di pamerin di instagram.

Trus gimana dengan isinya?

Isinya bagus. Kompleks banget antara persahabatan, keluarga dan cinta. Dimana semuanya mendapat porsi yang cukup untuk tidak menimbulkan tanda tanya pada endingnya. Ingat ya, cukup dalam artian pembaca nggak akan dibuat gantung oleh penulisnya.

Sudah. Begitu saja. Begitu mudahnya persahabatan bertahun-tahun menjadi kadarluwarsa. – hal 62

Yah, mungkin begitukah bentuk pertemanan. Ada yang seperti panci dan tutupnya. Pertama kali bertemu langsung akrab. Ada yang seperti panci enamel bertemu pendiangan kayu bakar. Setelah melalui waktu lama baru panas. – hal 34


Karakter

Karakternya di sini paling menonjol jelas Esa. Meski pov yang dipakai adalah orang ketiga, tapi tetap melihat dari sisi Esa.

Esa gadis remaja yang mandiri. Dia rela jalan kaki dari sekolah ke rumah Cuma untuk hemat uang. Meski orang tuanya punya pekerjaan yang bagus, bahkan bisa dibilang tajir, tetap nggak bisa dinikmati Esa.

Erik, dewasa, pengertian, dan lembut. Tipekal cowok perfect di novel romance manapun.

Saskia, sahabat baiknya, yang memilih meinggalkan Esa di saat Esa terpuruk.

Mama esa, di sini agak menyebalkan sekaligus menyedihkan. Kecanduan alkohol, gonta ganti pacar, clubbing dengan pakaian ketat dan minim, terlilit hutang dan tingkahnya yang nggak bisa ketebak. Kadang senang, kadang bisa sedih banget.

Papa Esa, sosok sok ngatur, yang hanya berfungsi sebagai pemberi uang saku untuk putrinya. Tidak peduli Esa kelaparan atau menderita bersama ibu kandungnya.

Bi Titin, sosok keibuan yang dibela haknya mati-matian oleh Esa.


Plot

Alurnya maju hingga Esa dewasa. Di sini kita bakal di  ajak untuk ngerti gimana Esa yang hidup sebagai anak broken home dan di tinggal sahabatnya.

Saat dewasa pun Esa berjuang demi kebahagiannya sendiri. Meski tanpa Erik di sampingnya.


Konflik

Jelas sekali penulisnya ingin mengeksplore ketegaran Esa dalam cerita ini, dan itu terlihat dari beberapa adegan, nggak cuma narasi. Dan Esa sebagai remaja pada umumnya, yang tidak sempurna, terkadang lelah menghadapi masalahnya sendiri.

Kisah cinta Erik dan Esa menjadi hal menarik disini. Aku pikir awalnya sih yang di maksud dengan “cinta datang diwaktu yang salah” adalah usia mereka yang terpaut jauh. Jadi ketika baca buku ini, ekspektasi aku terhadap buku ini adalah tentang cinta beda usia, hingga menjelang akhir aku baru tahu usia hanya sebagai pembatas, tapi maksud “cinta datang diwaktu yang salah” itu adalah cinta mereka yang hadir di tengah konflik keluarga Esa. Sehingga Erik, meskipun mau, tidak bisa menuruti kemauan Esa untuk kawin lari di usia yang belia.

Kisah orang tua Esa pun lebih fokus pada mama Esa. Keberadaan papa Esa tampak pada akhir cerita, ketika dia ngerasa berhak ngatur-ngatur Esa. Tapi aku cukup suka kebijaksanaan papa Esa yang dibentuk oleh penulis ketika ending.

Semakin dalam nada yang keluar dari instrumen yang digeseknya itu, semakin deras air mata mengalir dari matanya yang terpejam. Semakin tinggi nada yang keluar, semakin air matanya tidak berhenti menetes. Dan irama yang bergaung keluar itu, luar biasa menyilet perasaan iba siapa saja yang mendengar. Begitu sedih, begitu sendiri. – hal 94


Ending

Ending sih udah ketebak kali ya. Cuma cara penulis membawa kisah Esa di ending itu rasanya aku bisa menemukan ketegaran dan kedewasaan Esa. Rasanya senang aja lihat kisah ini berakhir dengan bahagia.

Kekurangan
  • Novel ini cukup banyak typo:


Ia ingin tahu apakah ibunya sama sekali pulang ke rumah. – hal 19

Lalu biasanya Erik mengangguk ke Esa dan Erik mengangguk ke Esa. – hal 58

Pavilion – hal 96 > seharusnya pavilliun

Sekarang Bi Titin tidak lagi memasak ibunya Esa, tetapi untuk Erik

Sku – hal 210 > seharusnya Aku
  • Ada kata-kata yang agak menganggu aku, sebagai pembaca. Menurut aku ini sangat kasar dan cukup kaget kenapa nggak disensor.


Babu cuci – hal 41

Perek – hal 230
  • Disini kan digambarkan Esa sebagai pencinta musik klasik. Beberapa paragraf, di awal pertemuan dengan Erik dan saat menemani Erik ke pertunjukan musik klasik, Esa sempat sedikit menjelaskan tentang musik klasik. Tapi menurut aku terkesan tanggung, karena pengetahuan Esa tentang musik klasik itu dasar banget. Maksud aku, orang awam pun tahu tentang hal itu kalau mau cari sendiri di google.
  • Mungkin karena terlalu fokus sama ceritanya, penulis nggak membangun gambaran Erik dan Esa dalam benak aku. Jadi pas baca ini,aku nggak punya tokoh imajinasi untuk memerankan kedua tokoh utama tersebut.

Secara keseluruhan, aku cukup suka sama romance yang ditawarkan. Tulisannya pun menghanyutkan. Interaksi Erik-Esa yang terkesan dewasa bikin nggak nyangka kalau Esa masih SMA (entah ini kekurangan atau nggak haha). Dan buku ini aku rekomendasikan buat dibaca pencinta romance di luar sana.

“Kadang kala, perpisahan bukan untuk selamanya. Aku yakin, selama kita masih hidup, jika cinta kita benar murni, jalan hidup akan menyatukan kita lagi. Saat ini kita memang harus berpisah, tapi hanya untuk mempersiapkan diri, agar suatu hari kita dapat bertemu lagi, di situasi yang jauh lebih baik lagi.” – Erik Kusumo (hal 263)
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:





G+

4 komentar:

Berikan komentarmu disini

 
;