Judul:
Denting Lara
Penulis:
K. Fischer
Penerbit:
PT Bhuana Ilmu Populer
Penyunting:
Novalya Putri
Desain
Cover: Aluycia Suceng
Penata
etak: Sinta A
Cetakan
ke-1; Januari 2015; 317 halaman
Blurb
Esa tinggal hanya dengan ibu dan pengasuhnya dari kecil. Ibunya yang
hanya memikirkan dirinya sendiri, membuat Esa tak merasakan kasih sayang.
Terlebih, ayahnya menikah lagi dengan wanita yang tak menginginkan
"boncengan" dari suami barunya.
Di sekolah, karena beberapa kali menolak untuk diajak clubbing, Esa kehilangan
sahabatnya Ia bahkan dijauhi teman-teman satu sekolah.
Saat Esa merasa sendirian, sosok Erik datang menemani hari-hari Esa.
Dengan Erik, Esa menemukan jati dirinya. Namun saat Esa mulai mencintai Erik,
ibunya malah melakukan hal di luar dugaannya. Keadaan semakin parah ketika
ayahnya tahu Esa menjalin hubungan dengan lelaki yang berusia nyaris dua kali
umur anaknya.
Sinopsis
“Bukan cinta kita yang salah,
tapi waktunya. Yang kita miliki adalah cinta yang murni tetapi pada waktu yang
keliru.” – hal 261
Esa gadis remaja berusia 17 tahun, cukup tangguh untuk seusianya.
Setelah ayah dan ibunya bercerai, Esa harus terpaksa tingga bersama ibunya. Ibu
yang sama sekali tidak peduli keberadaaan Esa, bahkan membiarkan Esa kelaparan.
Ayahnya tidak lebih baik lagi, ia hanya melakukan tugasnya sebagai pemberi uang
jajan untuk anaknya. Selebihnya ia tidka peduli. Hanya Bi Titin, wanita tua,
pengasuhnya sejak kecil yang peduli dan selalu setia menemani Esa.
Di tengah Esa kebingungan kehabisan uang untuk makan sehari-hari, Erik
laki-laki mapan berusia 34 tahun menyewa pavilliun milik keluarga Esa yang
berada di dekat rumah mereka. Ternyata Esa harus menelan kecewa ketika Erik
sudah menyerahkan uang sewa pada mamanya. Masalah lain pun menghampiri Esa,
teman-teman Esa pun memusuhinya karena ia sering menolak ikut clubbing bersama
geng teman-teman kayanya. Hingga Esa benar-benar merasakan arti sendiri dan
tidak punya seorang pun.
Saat memainkan kontrabasnya seorang diri dengan perasaan yang sedih,
Erik tertarik untuk mengenal gadis belia yang mampu memainkan alat musik
seindah dan sepedih itu. Ia ingin menawarkan persahabatan, yang bersambut baik.
Hari-hari Esa kembali ceria. Bi Titin mendapat uang tambahan dari mencuci dan
memasak untuk Erik. Esa merasa sempurna.
Sampai mamanya memutuskan, Erik akan menjadi papa baru Esa ...
Betapa ingin ia melindungi
Erik dari ibunya sendiri. Betapa harapannya akan kesadaran ibunya punah sudah.
– ha 185
Review
Kalau mau jujur, aku pilih buku ini di antara ribuan buku iJak adalah
karena covernya. Sukaaa sekali sama covernya. Tipe-tipe buku yang bakalan
cantik kalau di pajang di lemari buku terus di kacain. Atau tipe-tipe buku yang
cocok banget di foto trus di pamerin di instagram.
Trus gimana dengan isinya?
Isinya bagus. Kompleks banget antara persahabatan, keluarga dan cinta.
Dimana semuanya mendapat porsi yang cukup untuk tidak menimbulkan tanda tanya
pada endingnya. Ingat ya, cukup dalam artian pembaca nggak akan dibuat gantung
oleh penulisnya.
Sudah. Begitu saja. Begitu
mudahnya persahabatan bertahun-tahun menjadi kadarluwarsa. – hal 62
Yah, mungkin begitukah bentuk
pertemanan. Ada yang seperti panci dan tutupnya. Pertama kali bertemu langsung
akrab. Ada yang seperti panci enamel bertemu pendiangan kayu bakar. Setelah
melalui waktu lama baru panas. – hal 34
Karakter
Karakternya di sini paling menonjol jelas Esa. Meski pov yang dipakai
adalah orang ketiga, tapi tetap melihat dari sisi Esa.
Esa gadis remaja yang mandiri. Dia rela jalan kaki dari sekolah ke rumah
Cuma untuk hemat uang. Meski orang tuanya punya pekerjaan yang bagus, bahkan
bisa dibilang tajir, tetap nggak bisa dinikmati Esa.
Erik, dewasa, pengertian, dan lembut. Tipekal cowok perfect di novel
romance manapun.
Saskia, sahabat baiknya, yang memilih meinggalkan Esa di saat Esa
terpuruk.
Mama esa, di sini agak menyebalkan sekaligus menyedihkan. Kecanduan
alkohol, gonta ganti pacar, clubbing dengan pakaian ketat dan minim, terlilit
hutang dan tingkahnya yang nggak bisa ketebak. Kadang senang, kadang bisa sedih
banget.
Papa Esa, sosok sok ngatur, yang hanya berfungsi sebagai pemberi uang
saku untuk putrinya. Tidak peduli Esa kelaparan atau menderita bersama ibu
kandungnya.
Bi Titin, sosok keibuan yang dibela haknya mati-matian oleh Esa.
Plot
Alurnya maju hingga Esa dewasa. Di sini kita bakal di ajak untuk ngerti gimana Esa yang hidup
sebagai anak broken home dan di tinggal sahabatnya.
Saat dewasa pun Esa berjuang demi kebahagiannya sendiri. Meski tanpa
Erik di sampingnya.
Konflik
Jelas sekali penulisnya ingin mengeksplore ketegaran Esa dalam cerita
ini, dan itu terlihat dari beberapa adegan, nggak cuma narasi. Dan Esa sebagai
remaja pada umumnya, yang tidak sempurna, terkadang lelah menghadapi masalahnya
sendiri.
Kisah cinta Erik dan Esa menjadi hal menarik disini. Aku pikir awalnya
sih yang di maksud dengan “cinta datang
diwaktu yang salah” adalah usia mereka yang terpaut jauh. Jadi ketika baca
buku ini, ekspektasi aku terhadap buku ini adalah tentang cinta beda usia,
hingga menjelang akhir aku baru tahu usia hanya sebagai pembatas, tapi maksud “cinta datang diwaktu yang salah” itu
adalah cinta mereka yang hadir di tengah konflik keluarga Esa. Sehingga Erik,
meskipun mau, tidak bisa menuruti kemauan Esa untuk kawin lari di usia yang
belia.
Kisah orang tua Esa pun lebih fokus pada mama Esa. Keberadaan papa Esa
tampak pada akhir cerita, ketika dia ngerasa berhak ngatur-ngatur Esa. Tapi aku
cukup suka kebijaksanaan papa Esa yang dibentuk oleh penulis ketika ending.
Semakin dalam nada yang
keluar dari instrumen yang digeseknya itu, semakin deras air mata mengalir dari
matanya yang terpejam. Semakin tinggi nada yang keluar, semakin air matanya
tidak berhenti menetes. Dan irama yang bergaung keluar itu, luar biasa menyilet
perasaan iba siapa saja yang mendengar. Begitu sedih, begitu sendiri. – hal 94
Ending
Ending sih udah ketebak kali ya. Cuma cara penulis membawa kisah Esa di
ending itu rasanya aku bisa menemukan ketegaran dan kedewasaan Esa. Rasanya
senang aja lihat kisah ini berakhir dengan bahagia.
Kekurangan
- Novel ini cukup banyak typo:
Ia ingin tahu apakah ibunya sama sekali pulang ke rumah. – hal 19
Lalu biasanya Erik mengangguk ke Esa dan Erik mengangguk ke Esa. – hal
58
Pavilion – hal 96 > seharusnya pavilliun
Sekarang Bi Titin tidak lagi memasak ibunya Esa, tetapi untuk Erik
Sku – hal 210 > seharusnya Aku
- Ada kata-kata yang agak menganggu aku, sebagai pembaca. Menurut aku ini sangat kasar dan cukup kaget kenapa nggak disensor.
Babu cuci – hal 41
Perek – hal 230
- Disini kan digambarkan Esa sebagai pencinta musik klasik. Beberapa paragraf, di awal pertemuan dengan Erik dan saat menemani Erik ke pertunjukan musik klasik, Esa sempat sedikit menjelaskan tentang musik klasik. Tapi menurut aku terkesan tanggung, karena pengetahuan Esa tentang musik klasik itu dasar banget. Maksud aku, orang awam pun tahu tentang hal itu kalau mau cari sendiri di google.
- Mungkin karena terlalu fokus sama ceritanya, penulis nggak membangun gambaran Erik dan Esa dalam benak aku. Jadi pas baca ini,aku nggak punya tokoh imajinasi untuk memerankan kedua tokoh utama tersebut.
Secara keseluruhan, aku cukup suka sama romance yang ditawarkan.
Tulisannya pun menghanyutkan. Interaksi Erik-Esa yang terkesan dewasa bikin
nggak nyangka kalau Esa masih SMA (entah ini kekurangan atau nggak haha). Dan
buku ini aku rekomendasikan buat dibaca pencinta romance di luar sana.
“Kadang kala, perpisahan
bukan untuk selamanya. Aku yakin, selama kita masih hidup, jika cinta kita
benar murni, jalan hidup akan menyatukan kita lagi. Saat ini kita memang harus
berpisah, tapi hanya untuk mempersiapkan diri, agar suatu hari kita dapat
bertemu lagi, di situasi yang jauh lebih baik lagi.” – Erik Kusumo (hal 263)
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:
makasih reviewnya, mau baca ah
BalasHapusSama-sama ^^
Hapusselamat menikmati yah
makasih sudah share review buku denting lara ini.. saya suka...saya suka... bagus..
BalasHapusHaha terima kasih Naufal ^^
Hapus