Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck
Penulis
Hamka
Penerbit
PT Bulan Bintang
Cetakan
le-31; April 2008; 236 hlm
Cerita
ini berkisar tentang semangat juang Zainuddin, bagaimana merana dan melaratnya
hidup Zainuddin setelah cintanya ditolak oleh keluarga Hayati. Kemudian beliau
bangun semula dari segala kedukaan, membuka lembaran baru dalam hidupnya
menjadi seorang penulis yang ternama dan berjaya. Ia menceritakan tentang
kesetiaan, cinta dan kasihnya Zainuddin terhadap Hayati. Meski Hayati sudah
berkahwin tetapi sebaik mendapat tahu tentang kesusahan yang dihadapi Hayati,
lantaran suaminya yang suka berpoya-poya serta tidak bertanggung-jawab,
Zainuddin terus membantu tanpa ada dendam dan benci. Sesungguhnya cinta yang
suci itu akan terus mekar di dalam hati hingga ke hujung nyawa begitulah jua
cinta antara Zainuddin dan Hayati.
Buku ini
berkisah tentang terpisahnya dua anak manusia, Zainuddin dan Hayati lantaran
adat istiadat yang sudah turun menurun di Minangkabau. Dimana anak-anak
perempuan disana harus menikah dengan orang yang berasal dari kampung yang
sama, memiliki adat istiadat yang sama, andaikata pun berbeda adat, orang
tersebut harus memiliki jabatan atau kedudukan.
Penulis seolah
ingin menyampaikan kritik melalui tulisan ini bahwa adat istiadat yang berlaku
saat itu di Minangkabau sangatlah ketat. Para tetua disana, atau lebih biasa
disebut Datuk, seolah-olah menganggap adat istiadat tersebut sebagai
kepercayaam, siapa yang melanggar celakalah dia. Mereka juga menganggap adat
istiadat di daerah mereka paling baik dan paling beradab, sehingga adat dari
daerah lain mereka anggap jelek, hina dan tidak setara dengan mereka.
Sialnya bagi
Zainuddin yang saat itu mencintai Hayati. Meski ia keturunan Minangkabau, darah
yang diwarisi ayahnya, tapi ibunya berasal dari suku lain, Menggkasar. Ayahnya menjadi
orang buangan setelah membunuh Mamaknya yang saat itu menguasai harta
peninggalan ibunya. Sehingga ketika Zainuddin kembali ke Minangkabau, tepatnya
Batipuh Sapuluh Koto (Padang Panjang) ia dianggap orang asing sama sekali,
belum lagi ia yatim piatu dan tidak beharta pula. Sehingga orang menggap hina
Zainuddin.
Hayati yang
awalnya menaruh simpati pada Zainuddin jatuh cinta kepada laki-laki karena
kebaikan hatinya. Meski cinta mereka ditentang oleh seluruh kampung, Hayati
tetap kekeuh akan mencintai Zainuddin. Saat akhirnya Zainuddin di usir ke kota
Padang, Hayati berjanji akan menunggu kedatangan Zainuddin. Dan berangkatlah
Zainuddin demi mencapai cita-citanya itu. Menjadi orang terpelajar dan beharta.
Sayangnya sebelum semua itu terlaksana, Hayati menerima pinangan Aziz dan
melupakan janjinya pada Zainuddin.
“Kita
bersahabat dan kita bercinta. Karena kalau kau tak cinta kepadaku, artinya kau
bukan bersahabat.” – Zainuddin : hal 52
Aku menyukai
perjalanan Zainuddin demi memperoleh cintanya. Ia taat belajar ilmu agama, dan
juga syair-syair lalu berniaga. Semua ia lakoni demi pengalaman, ilmu untuk
bekalnya nanti. Dan aku terenyuh, sedih saat Zainuddin patah hati. Aku tidak
tahu kenapa, tapi bagian ini menyentuh sekali. Apalagi Zainuddin sempat sakit
dan mengigau nama Hayati. Dan jujur aja, cinta yang begitu besar diberikan
Zainuddin kepada Hayati bikin aku sedikit iri. Mungkin memang ada laki-laki
seperti Zainuddin di masa itu.
Cinta bukan
melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis Sali sedang.
Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan
menempuh onak dan duri penghidupan. Berangkatlah! Dan biarlah Tuhan memberi
perlindungan bagi kita.” – Hayati : hal 63
Sempat bingung
sih, karena udah mencapai halaman 200 lebih,belum ada tanda-tanda disebut
tentang Kapal Van Der Wijck, dan ketika sampai pada bagian itu aku tidak bisa
menghentikan membaca buku ini. Karena kita akan dibuat bertanya-tanya,
menyatuhkah dua cinta suci yang telah terpisah itu. Apalagi Zainuddin yang
terlanjur sakit hati pada Hayati.
Aku sangat
menyukai bahasa novel ini. Diksi yang berupa syair mengalun indah setiap
halamannya. Aku merasa seperti membaca hikayat lama yang mendayu-dayu
menghanyutkan perasaan. Terutama bagian surat menyurat antara Zainuddin dan
Hayati, sangat-sangat romantis tanpa perlu umbar-umbar perasaan berlebihan
seperti novel zaman sekarang, tersirat tapi tepat sasaran.
Aku tidak bisa
mengatakan ini sebagai kelemahan, karena kelemahan ini adalah ciri khas
sekaligus yang membuat novel ini sangat layak untuk dibaca. Karena tulisannya
banyak mengandung syair, terkadang aku merasa tidak menangkap kemana maksud
kalimat tersebut, terutama kalau aku lagi bacanya dengan pikiran kosong. Tapi
kalau aku konsentrasi, aku bisa memahami maksudnya. Jadi ya aku sarankan
membaca buku ini sedang dalam mood yang bagus, karena kalau tidak, maksud dari
buku ini tidak akan sampai.
Secara keseluruhan,
aku sangat menyukai novel ini. Menyukai romantisme ala zaman dahulu dan
menyukai maksud yang disampaikan buku ini. Dimana kebahagian itu tidak akan
bisa diukur dengan harta, kebahagian itu akan diukur dengan hidup bersama orang
yang kita cintai dan mencintai kita. Dan bila kita mengabaikannya, maka tidak
akan ada kebahagiaan yang menanti di masa depan.
“Jangan sampai
terlintas dalam hatimu bahwa ada pula bahagia selain bahagia cinta. Kalau kau
percaya adapula satu kebahagiaan selain kebahagiaan cinta, celaka diri kau Dik!
Kau menjatuhkan vonis kematian ke atas dirimu sendiri.” – Zainuddin : hal 128
***
Tulisan ini
diikutsertakan dalam:
Sudah lama sekali baca buku ini. Dulu pinjem di perpus juga, perpus SMP. Sudah lupa bagaimana ceritanya XD
BalasHapusCeritanya bagus ternyata ya kak walaupun udah lama sekali hihi
Hapus