Kamis, 12 Januari 2017

[Review Buku] Critical Eleven - Ika Natassa


Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Desain sampul: Ika Natassa
Editor: Rosi L. Simamora
Cetakan ke-3; September 2015; 344 hlm

Dalam dunia penerbangan, dikenal dengan istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik depalan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerble to any danger.
In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan. Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.  
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya. 
Anya dan Ale bertemu di pesawat. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menjalin hubungan lebih serius. Anya yang bekerja sebagai management consultant, yang kerjaannya terbang dari pesawat satu ke pesawat lainnya untuk menemui klien. Dan Ale yang bekerja sebagai petroleum engineer, nun jauh di teluk Meksiko sana, paham betul konsekuensi yang akan mereka tempuh ketika menikah. Sama-sama sibuk. Sama-sama “hobi” bepergian. Dan sama-sama jatuh cinta kepada satu sama lain.

Mereka menikah dan kekhawatiran orang-orang sekitar tentang jarak, hilang sama sekali. Anya dan Ale memang diciptakan untuk mengisi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tiga tahun setelah pernikahan, Anya hamil. Kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan kata-kata menghiasi hari-hari Anya-Ale. Kemesaraan mereka makin “parah” hingga bikin iri (maksudnya sih, aku yang iri haha)

Sayangnya, Tuhan berkehendak lain.

Dan sejak saat itu, hubungan Anya dan Ale tidak pernah sama.



Review
Kepopuleran novel ini, bikin ekspektasiku terlalu tinggi. Ulasan novel ini bagus dan salah satu novel lokal yang direkomendasikan buat dibaca. Saat aku memutuskan untuk membaca ini, mereka benar. Semua pujian yang dilayangkan untuk novel ini benar-benar nyata. Tidak dikurangi atau dilebihkan. Novel ini memang luar biasa.

Critical Eleven bercerita tentang hubungan suami istri, Ale dan Anya, yang berubah menjadi begitu dingin. Ale yang berusaha mati-matian menarik perhatian Anya dan berusaha keras mengembalikan hubungan mereka seperti dulu. Anya yang terus menolak dan menolak hampir membuat Ale putus asa. Malah Ale rasanya tidak tahan dengan kondisi seperti ini. Keberadaan Ale seperti orang asing di rumah mereka sendiri. Perubahan dratis Anya terjadi ketika dua bulan setelah kelahiran bayi mereka dalam keadaan tidak bernyawa. Membuat simpati aku langsung muncul untuk Ale.

Anya sendiri merasa sebagai wanita yang tersakiti. Kata-kata Ale, sebaris kalimat, menjungkir balikan pengertian cinta Anya untuk Ale. Berusaha sekeras mungkin mengabaikan Ale, laki-laki yang ia cintai.

POV
Kelebihan dari novel ini adalah sudut pandang bergantian antara Anya dan Ale. Menurut aku, gambaran mereka itu pas banget. Apalagi saat penggambaran cara mereka mengatasi duka masing-masing. Anya yang selalu menghabiskan waktu di kamar bayi mereka, dan Ale yang rutin mengunjungi makam anak mereka. Semuanya dijabarin dengan menyentuh. Sedih bercampur sesak yang bikin aku nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Karena sebenarnya memang tidak ada yang salah. Keduanya terlalu menikmati menyakiti diri sendiri dengan cara yang mereka anggap benar. Hingga dua-duanya merasa merekalah yang paling tersakiti dengan kehilangan anak tersebut.

Aku suka sekali. Sangat.


Alur
Maju-mundur adalah alur yang tepat menurut aku. Kak Ika seolah memamerkan keromantisan Anya dan Ale dan menyuruh aku sebagai pembaca untuk membandingkan dengan kondisi mereka saat ini. Memamerkan, “ini lho waktu Ale ngelamar Anya, nggak romantis tapi bikin senyam-senyum.” Terus kak Ika langsung menghantam pembaca dengan air mata Anya yang menetes karena kenangan itu. Dan itu berlanjut di seluruh halaman.

Saran aku sih, bacanya yang  jeli, karena ada beberapa bagian yang bikin aku nggak sadar kalau aku sedang diajak flashback sama kak Ika.


Karakter
Anya ini udah jelas. Karakter cewek kotaan banget. Pintar, sibuk dan punya style yang keren dan di dukung dengan nggak pintar masak. Aku selalu ngerasa bohong banget kalau ada karakter cewek yang sempurna, udah sibuk, pintar, kerjanya jalan-jalan, style keren, tapi jago masak. Jadi aku anggap karakter Anya adalah karakter normal. Dan kenormalan itu yang membuat “satu kalimat” Ale bikin Anya, sisi wanita dan keibuannya merasa disayat,  marahan sampai enam bulan. ENAM BULAN WOY!!

Ale ini perfect. Tega nggak ya kalau aku bilang cowok kayak Ale itu mustahil ada di dunia ini? Kaya, alim, taat ibadah, sabar, nggak pernah marah, nurutin kemauan Anya, spechless lah kalau ngomongin Ale ini. Dan “satu kalimat” itu bikin dia terlihat tidaklah sempurna. Itu adalah salah satu bentuk kekecewaan dan andai-andai seorang calon ayah.

Tapi, menurut aku Anya terlalu berlebihan menanggapi masalah ini. Aku tahu, masalah yang dihadapi adalah kehilangan anak, dan nggak gampang,tapi tetap aja Anya seolah tidak cukup menghukum Ale.

Laki-laki yang sudah kupilih menjadi suamiku, dan sejak enam bulan yang lalu membuatku mempertanyakan lagi pilihan itu. – Anya : hal 113
Dan beginilah rasanya masih sedalam-dalamnya mencintai laki-laki yang belum bisa aku percaya untuk tidak menyakiti aku lagi. – Anya : hal 229
Dua kalimat di atas seolah-olah Ale udah poligami atau menghamili istri orang atau apapun lah.

Dan Ale bersikap layaknya semua pria. Sifat paling menjengkelkan adalah, ketika Anya minta menjauh, dia beneran menjauh. Aduh cewek itu suka sekali mengeluarkan kata-kata yang kebalikan dari isi hatinya. Ketika dibilang menjauh, bukan artinya si cowok beneran menjauh. Yah makin ngambek lah istrinya.

Terus, Ale nganggap Anya udah baik-baik aja ketika mereka bercinta gila-gilaan. Padahal malah bikin Anya jadi makin sedih.

Dan kak Ika sukses berat menggambarkan karakter istri sakit hati, dan suami dengan sifat perfect dilengkapi ketidakpekaannya itu.


Favorit

Waduh, kalau ngomongin favorit, hampir seluruh isi novel ini favorit banget.

Di halaman (ARGGHH Lupa, padahal udah aku tandain) ada bagian Anya dan Tara ngebahas cowok yang menggunakan twitter. Aku suka sudut pandang Anya (kurang lebih) yang ngelihat personality cowok itu bagaimana dia menggunakan twitternya. Apakah terlalu sering retweet atau ngefollow akun gosip, atau suka nimbrung obrolan nggak penting, dan bangga punya follower banyak. Padahal di halaman ini ada kutipan favorit aku. Tapi ya sudahlah L

Entah kenapa, atau Cuma perasaan aku aja, ketika flashback, kak Ika lebih cenderung mempertontonkan ke-perfect-kan Ale, Misalnya aja nie, aku suka sekali Ale yang menghabiskan tabungannya untuk membangun rumah impian. Atau Ale yang menghabiskan uang tabungan untuk membeli cincin Anya. Ale, walaupun duitnya banyak, nggak ragu untuk makan makanan sederhana, nggak harus restoran mewah melulu. Bagian Ale mengalah. Dll ...dan ya, hampir semua bagian Ale itu, aku suka. Bahkan bagian dia rada mesum pun kayaknya lucu aja.

Dialog-dialog lucu antara Anya dan kawan-kawan, Anya dan Ale, dan antar para tokoh bikin senang aja bacanya.

But..

Meski aku suka sekali dengan novel ini, tapi harus aku katakan aku keberatan dengan satu hal.  Maaf ya kak Ika ..

Ale ini muslim, Anya juga. Ale malah taat banget, sholat tepat waktu, shalat  dhuha juga ada, jumatan nggak pernah tinggal, tapi kok pelihara anjing dan minum alkohol ya? Aku sangat keberatan dengan hal itu. Anjing dan Alkohol jelas haram. Nggak pake tawar menawar, tetap haram. Ibadah jungkir balik pun nggak akan mengubah fakta itu. Aku sih lebih suka kalau kak Ika nggak menyebutkan agama dalam novel ini. Rasanya akan ganjil banget kak. Atau kalau nggak, nggak usah nyebutin Ale itu alim taat agama. Mungkin lebih enak juga.

Malah menurut aku lebih bagus kayak Anya. Sejak awal dia memang nggak digambarin sebagai muslim, dan wajar aja kalau dia mau minum alkohol sampai mabuk, setiap hari malah. Atau pelihara anjing sampai sepuluh ekor.

Ada satu lagi yang nggak cocok nie kak (nah kali ini aku nggak lupa nandainnya)

Di halaman 176, ada di dialog gini antara Ale dan pak Idris, penjaga makam

“Istri saya... Bapak kenal, kan?”
“Kenal, Bang, kan waktu itu pernah ramai-ramai kesini sekeluarga, sama Abang juga.”
Tapi di halaman 181, malah gini:

Karena gue masih kepikiran apa yang gue baru tahu dari Pak Idris tadi pagi. Anya ternyata belum pernah menziarahi makam anak kami, sama sekali. Waktu dulu Aidan dimakamkan, Anya masih dirumah sakit setelah melahirkan, jadi kuburan anak gue memang sama sekali belum pernah dilihat mamanya.

Udah dapat kan maksud aku?

Ending
Aku senang sama endingnya. Nggak sampai bikin mewek sih, Cuma apa ya, inti dari novel ini kelihatan banget di endingnya. Pokoknya suka.

Pesan yang aku dapat dari novel ini...

Suami istri itu yang penting komunikasi. Menurut aku, masalah Anya-Ale itu terlalu berlebihan kalau sampai enam bulan dibuat marahan, saling diam kayak musuh bebuyutan. Intinya adalah komunikasi. Dan dalam hal ini suaminya yang bergerak duluan. Wanita itu sanggup memendam sampai berabad-abad kalau si suami tidak “maju terus pantang mundur”. Dan apapun masalah, apapun duka, suami istri harus hadapi bareng-bareng. Jangan ngerasa, “wah aku paling tersakiti.” Atau “tega sekali dia berbuat seperti itu kepadaku.” 


Harapan aku buat filmnya
Mau dibikin filmnya? Nggak salah milih dech kalau novel ini difilmkan. Aku harap sih poin-poin penting dalam novel nggak hilang. Soalnya kebanyakan sih kayak gitu. Bikin penonton suka ngebandingin buku dan filmnya. Dan kebayakan pula, banyak yang lebih suka bukunya daripada filmnya. Kali ini aku harapkan beda. Saat penonton keluar dari gedung bioskop, mereka bakal celetuk "Ih sama keren dengan novelnya." 

Pemainnya Reza Rahardian dan Adinia Wirasti. Kalau Reza sih emang udah tenar banget namanya. Kayaknya itu cowok cocok dapat peran apa aja. Tapi aku pas baca ini lebih kebayang Vino Sebastian, kecuali suara Vino yang rada mirip cowok playboy, mungkin itu yang nggak cocoknya haha. 

Kalau Adinia Wirasti, nggak terlalu kenal sih. Aku bukan pecinta film indonesia. Dan pas tengok posternya, aku rasa cocok aja. Mungil disandingkan dengan Reza hehe. 


Dan harapan terakhir, semoga setelah filmnya keluar, novel Critical Eleven bisa dicetak ulang sampai beberapa kali lagi. Eh siapa tahu entar bisa Critical Eleven bisa diterjemahin ke bahasa inggris  hehe terus go internasional dch (kayak Agnes Mo gitu ^^) 

Berani menjalin hubungan berati menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita pada orang lain. - hal 8

sampai jumpa di review selanjutnya ^^ 

***

G+

4 komentar:

  1. belum baca novelnya mba tapi klo filmnya diperanin Reza lagi wah bosan hahaha keknya dia mulu yak ga regenerasi :p IMHO

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mau jujur sih saya malah belum pernah nonton film yg dia bintangi wkwkwk jadi nggak komentar banyak. Cuma tau dia terkenal doang hahaha

      Hapus
  2. Wah, sebelum nonton filmnya, harus baca bukunya dulu nih. :D

    BalasHapus
  3. Suka kutipan yang terakhir. Jadi pengen baca bukunya deh habis membaca review ini ^^

    BalasHapus

Berikan komentarmu disini

 
;