Di Serambi Makkah
by Tasaro
penerbit DAR! Mizan
Penyunting Salman
Iskandar dan Yani Suryani
Cetakan ke-1; Juli
2005; 424 hlm
Rate 4 of 5
Mari menikmati keajaiban takdir!
Samudra -- seorang marinir --
terjebak dalam paradoks hati; antara menjalani tugas dan nuraninya yang dirajam
kesengsaraan rakyat Aceh. Sementara sahabatnya, Maruta -- sosok penulis idealis
-- ruwet dengan teka-teki ketika dia haruas berdiri saat konflik Aceh kian
menggila. Selembar celana loreng sobek kiriman Samu, mengantarkannya ke
Lhokseumawe.
Maru terobsesi menulis tentang Aceh
hingga tak lagi menghitung risiko. Dia tersedot konflik fisik TNI-GAM. Maru
diculik para lelaki loreng, dituding sebagai mata-mata. Di rimba Lhokseumawe,
dia bertemu Malahayati, gadis Aceh yang tumbuh dengan kebencian pada setiap lelaki
loreng.
Maru membuka mata Mala bahwa ada
lelaki loreng yang pantas dicintai. Ketika Mala mulai belajar menerima Samu,
bencana dahsyat meluluhlantakkn bumi Serambi Makkah. Gempa tsunami
menenggelamkan pesisir Aceh! Ratusan lelaki loreng meregang nyawa, jutaan
manusia kehilangan harapan.
Di manakah Samu? Mungkinkah
keajaiban takdir mempertemukan mereka kembali Di Serambi Makkah?
Maruta dan Samudra adalah sahabat
sejak kecil. Keakraban mereka begitu terasa dengan seringnya melakukan
aktivitas berdua. Entah itu ke sekolah atau bermain. Samudra memiliki cita-cita
menjadi seorang tentara. Karena tentara yang melewati kampungnya terlihat
sangat gagah dan bersahaja. Ia ingin menjadi salah satu dari mereka. Sedangkan
Maru, lebih memilih jadi insinyur.
Saat dewasa, tidak banyak yang
berubah. Samu menjadi seorang tentara dan Maru menjadi penulis, yang bekerja di
salah satu surat kabar. Maru memiliki ketertarikan terhadap konflik yang
berkepanjangan di Aceh. Darah yang begitu banyak tumpah hanya untuk memuaskan
hasrat kedua belah pihak. Setiap hari ada saja berita korban hilang di culik
GAM, berita kematian dari kedua belah pihak, dan tangis pilu yang berkumandang
tiada habisnya. Sehingga membuat Maru tergerak hatinya untuk menulis tentang
Aceh.
Takdir sepertinya mengizinkan
niat Maru. Samu yang bertugas di Aceh, makin memantapkan niat Maru untuk
menulis tentang kehidupan di sana. Ia berniat mencari tahu apa sebenarnya yang
di inginkan oleh warga Aceh, dan melihat bagaimana “kekejaman” tentara yang
santer di kabarkan oleh surat kabar. Karena Maru yakin, Samu tidak akan pernah
memiliki niat melukai siapa-siapa bila tidak terpaksa.
Akhirnya Maru ke Aceh. Sialnya
belum apa-apa ia sudah di tuduh mata-mata oleh GAM. Ia juga bertemu Mala, gadis
yang menarik perhatian sahabatnya, Samu. Sayangnya, Mala begitu benci pada
lelaki loreng, karena masa lalunya yang kelam.
Bencana dahsyat menerjang Aceh.
Gempa dan Tsunami membinasakan sebagian besar wilayah Aceh. Ribuan warga, GAM,
dan tentara meninggal dan dinyatakan hilang. Duka menyelimuti Aceh. Senyum
hilang dari Aceh.
My Review
SUMPAH YA!! Novel ini bikin aku
kebayang-kebayang gimana ngerinya zaman konflik di Aceh dulu. Kurang lebih aku
masih kebayang gimana ngerinya suasana di Aceh, karena waktu itu aku udah duduk
di bangku SMP, jadi kurang lebih samar-samar ingat bagaimana situasinya.
Papa adalah tentara. Nah setiap
hari, mama di rumah nggak pernah berhenti-henti cemas sama papa (handphone dulu
masih langka dan mahal), papa setiap pagi kalau mau ke kantor pakai pakaian
preman, kalau udah nyampe di kantor baru ganti dengan pakaian dinas. Tau
kenapa? Karena teman-teman papa udah ada yang pernah di culik GAM pas mau ke
kantor (dan nggak pernah ada kabar sampai sekarang). Dan itu bukan satu atau
dua orang aja. Setiap malam, papa selalu bawa pulang senjata ke rumah.
Bayangin, aku yang masih SMP harus “seatap” dengan sejata panjang hitam yang
dingin itu.
Hal yang NGGAK bisa aku lupakan
adalah kontak senjata antara GAM dan tentara. Rumah kami itu di asrama TNI, dan rumahku itu paling depan,
alias paling dekat jalan besar. Kalian tau berapa kali aku pernah ngerasain kontak
senjata di asrama? TIGA KALI. Dan ada 1 peluru
nyasar yang masih tertinggal di bawah jendela kamarku.
Pengalaman singkatku di atas
mungkin belum apa-apa kalau di bandingkan fakta-fakta yang ada di dalam novel
ini. Begitu banyak hal yang di ceritakan dalam novel ini. Bagaimana jeleknya
image tentara di mata orang luar Aceh, padahal mereka ke Aceh juga mempertaruhkan
nyawa dan meninggalkan anak istri serta keluarga. Belum tahu kapan mereka akan
pulang, dan kalaupun PASTI pulang, itu sudah tidak bernyawa. Fakta-fakta itu
dekat dengan kehidupan aku. Kurang lebih aku ngerasain karena aku anak seorang
tentara.
Penulis juga menyorot kehidupan
para warga Aceh yang selalu menjadi korban perang. Seandainya mereka banyak
bicara tentang GAM, mereka mati. Kalau mereka tidak mau ngasih tahu informasi
ke Tentara, mereka di anggap pengkhianat. Fenomena buah simalakama, kalau di
makan mati ayah, tidak di makan mati ibu. Nggak sedikit warga biasa pun
terkadang ikut terseret gara-gara itu. Itu belum lagi korban peluru nyasar
seandainya ada kontak senjata di tempat umum.
Paling berani dari novel ini,
adalah penulis tidak segan-segan menuliskan kejelekan GAM. Mereka memungut
pajak terlalu tinggi ke warga, kalau nggak bayar, MATI. Mereka juga melarang
anak gadis berpacaran dengan Tentara, kalau tidak, di anggap PENGKHIANAT. Punya
abang/adik/saudara jadi tentara, MATI. Ujung-ujungnya sih memang rakyat yang
menderita. Karena kalau mereka berani lapor, akhirnya MATI juga.
Sengaja aku capslock, supaya yang
baca tahu pas konflk di Aceh itu bukan sekedar omong kosong doang. Emang benar
terjadi kayak gitu. Tetanggaku harus jadi YATIM karena ayahnya di culik GAM.
Review ini terasa lebih nostalgia
ya. Tapi apa mau di kata, seluruh novel ini memang ngingatin aku sama hal itu.
Belum lagi Tsunami yang melanda Aceh. Sifat asli manusia pada kebuka waktu
saat-saat kayak gitu. Percaya atau nggak, ada warung yang ngejual SATU BUTIR
TELUR dengan harga LIMA RIBU RUPIAH. Bajingan kan? Nggak punya hati kan?
Padahal waktu itu, komunikasi terputus TOTAL dan kami baru dapat bantuan
setelah tiga atau empat hari kejadian Tsunami.
Novel ini lebih banyak ambil
setting di Lhoksmawe. Salah satu kota yang kesibukannya hampir menyampai kota
Banda Aceh, pusat provinsi Aceh. Kisah cinta Mala-Samu menjadi bumbu yang sedap
untuk novel ini. Kegelisahan Maru dan bagaimana perasaannya saat berhadapan
dengan warga konflik buat aku percaya, bahwa ini bukan novel fiksi.
Secara keseluruhan, aku suka
novel ini. Alur cerita, gaya penulisan dan karakter serta emosi para tokoh
tersalurkan di sini. Novel ini cocok di baca oleh segala usia.
Sampai jumpa di review selajutnya
^^
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:
wahhh keren reviewnya ini.... bagus....
BalasHapusjadi pengen bca keseluruhan bukunya ini...