Sabtu, 10 September 2016

[Review Buku] Di Serambi Makkah - Tasaro



Di Serambi Makkah
by Tasaro
penerbit DAR! Mizan
Penyunting Salman Iskandar dan Yani Suryani
Cetakan ke-1; Juli 2005; 424 hlm
Rate 4 of 5

Mari menikmati keajaiban takdir!
Samudra -- seorang marinir -- terjebak dalam paradoks hati; antara menjalani tugas dan nuraninya yang dirajam kesengsaraan rakyat Aceh. Sementara sahabatnya, Maruta -- sosok penulis idealis -- ruwet dengan teka-teki ketika dia haruas berdiri saat konflik Aceh kian menggila. Selembar celana loreng sobek kiriman Samu, mengantarkannya ke Lhokseumawe.
Maru terobsesi menulis tentang Aceh hingga tak lagi menghitung risiko. Dia tersedot konflik fisik TNI-GAM. Maru diculik para lelaki loreng, dituding sebagai mata-mata. Di rimba Lhokseumawe, dia bertemu Malahayati, gadis Aceh yang tumbuh dengan kebencian pada setiap lelaki loreng.
Maru membuka mata Mala bahwa ada lelaki loreng yang pantas dicintai. Ketika Mala mulai belajar menerima Samu, bencana dahsyat meluluhlantakkn bumi Serambi Makkah. Gempa tsunami menenggelamkan pesisir Aceh! Ratusan lelaki loreng meregang nyawa, jutaan manusia kehilangan harapan.
Di manakah Samu? Mungkinkah keajaiban takdir mempertemukan mereka kembali Di Serambi Makkah?

Maruta dan Samudra adalah sahabat sejak kecil. Keakraban mereka begitu terasa dengan seringnya melakukan aktivitas berdua. Entah itu ke sekolah atau bermain. Samudra memiliki cita-cita menjadi seorang tentara. Karena tentara yang melewati kampungnya terlihat sangat gagah dan bersahaja. Ia ingin menjadi salah satu dari mereka. Sedangkan Maru, lebih memilih jadi insinyur.

Saat dewasa, tidak banyak yang berubah. Samu menjadi seorang tentara dan Maru menjadi penulis, yang bekerja di salah satu surat kabar. Maru memiliki ketertarikan terhadap konflik yang berkepanjangan di Aceh. Darah yang begitu banyak tumpah hanya untuk memuaskan hasrat kedua belah pihak. Setiap hari ada saja berita korban hilang di culik GAM, berita kematian dari kedua belah pihak, dan tangis pilu yang berkumandang tiada habisnya. Sehingga membuat Maru tergerak hatinya untuk menulis tentang Aceh.

Takdir sepertinya mengizinkan niat Maru. Samu yang bertugas di Aceh, makin memantapkan niat Maru untuk menulis tentang kehidupan di sana. Ia berniat mencari tahu apa sebenarnya yang di inginkan oleh warga Aceh, dan melihat bagaimana “kekejaman” tentara yang santer di kabarkan oleh surat kabar. Karena Maru yakin, Samu tidak akan pernah memiliki niat melukai siapa-siapa bila tidak terpaksa.

Akhirnya Maru ke Aceh. Sialnya belum apa-apa ia sudah di tuduh mata-mata oleh GAM. Ia juga bertemu Mala, gadis yang menarik perhatian sahabatnya, Samu. Sayangnya, Mala begitu benci pada lelaki loreng, karena masa lalunya yang kelam.

Bencana dahsyat menerjang Aceh. Gempa dan Tsunami membinasakan sebagian besar wilayah Aceh. Ribuan warga, GAM, dan tentara meninggal dan dinyatakan hilang. Duka menyelimuti Aceh. Senyum hilang dari Aceh.



My Review

SUMPAH YA!! Novel ini bikin aku kebayang-kebayang gimana ngerinya zaman konflik di Aceh dulu. Kurang lebih aku masih kebayang gimana ngerinya suasana di Aceh, karena waktu itu aku udah duduk di bangku SMP, jadi kurang lebih samar-samar ingat bagaimana situasinya.

Papa adalah tentara. Nah setiap hari, mama di rumah nggak pernah berhenti-henti cemas sama papa (handphone dulu masih langka dan mahal), papa setiap pagi kalau mau ke kantor pakai pakaian preman, kalau udah nyampe di kantor baru ganti dengan pakaian dinas. Tau kenapa? Karena teman-teman papa udah ada yang pernah di culik GAM pas mau ke kantor (dan nggak pernah ada kabar sampai sekarang). Dan itu bukan satu atau dua orang aja. Setiap malam, papa selalu bawa pulang senjata ke rumah. Bayangin, aku yang masih SMP harus “seatap” dengan sejata panjang hitam yang dingin itu.

Hal yang NGGAK bisa aku lupakan adalah kontak senjata antara GAM dan tentara. Rumah kami itu di  asrama TNI, dan rumahku itu paling depan, alias paling dekat jalan besar. Kalian tau berapa kali aku pernah ngerasain kontak senjata di asrama? TIGA KALI. Dan ada 1 peluru  nyasar yang masih tertinggal di bawah jendela kamarku.

Pengalaman singkatku di atas mungkin belum apa-apa kalau di bandingkan fakta-fakta yang ada di dalam novel ini. Begitu banyak hal yang di ceritakan dalam novel ini. Bagaimana jeleknya image tentara di mata orang luar Aceh, padahal mereka ke Aceh juga mempertaruhkan nyawa dan meninggalkan anak istri serta keluarga. Belum tahu kapan mereka akan pulang, dan kalaupun PASTI pulang, itu sudah tidak bernyawa. Fakta-fakta itu dekat dengan kehidupan aku. Kurang lebih aku ngerasain karena aku anak seorang tentara.

Penulis juga menyorot kehidupan para warga Aceh yang selalu menjadi korban perang. Seandainya mereka banyak bicara tentang GAM, mereka mati. Kalau mereka tidak mau ngasih tahu informasi ke Tentara, mereka di anggap pengkhianat. Fenomena buah simalakama, kalau di makan mati ayah, tidak di makan mati ibu. Nggak sedikit warga biasa pun terkadang ikut terseret gara-gara itu. Itu belum lagi korban peluru nyasar seandainya ada kontak senjata di tempat umum.

Paling berani dari novel ini, adalah penulis tidak segan-segan menuliskan kejelekan GAM. Mereka memungut pajak terlalu tinggi ke warga, kalau nggak bayar, MATI. Mereka juga melarang anak gadis berpacaran dengan Tentara, kalau tidak, di anggap PENGKHIANAT. Punya abang/adik/saudara jadi tentara, MATI. Ujung-ujungnya sih memang rakyat yang menderita. Karena kalau mereka berani lapor, akhirnya MATI juga.

Sengaja aku capslock, supaya yang baca tahu pas konflk di Aceh itu bukan sekedar omong kosong doang. Emang benar terjadi kayak gitu. Tetanggaku harus jadi YATIM karena ayahnya di culik GAM.

Review ini terasa lebih nostalgia ya. Tapi apa mau di kata, seluruh novel ini memang ngingatin aku sama hal itu. Belum lagi Tsunami yang melanda Aceh. Sifat asli manusia pada kebuka waktu saat-saat kayak gitu. Percaya atau nggak, ada warung yang ngejual SATU BUTIR TELUR dengan harga LIMA RIBU RUPIAH. Bajingan kan? Nggak punya hati kan? Padahal waktu itu, komunikasi terputus TOTAL dan kami baru dapat bantuan setelah tiga atau empat hari kejadian Tsunami.

Novel ini lebih banyak ambil setting di Lhoksmawe. Salah satu kota yang kesibukannya hampir menyampai kota Banda Aceh, pusat provinsi Aceh. Kisah cinta Mala-Samu menjadi bumbu yang sedap untuk novel ini. Kegelisahan Maru dan bagaimana perasaannya saat berhadapan dengan warga konflik buat aku percaya, bahwa ini bukan novel fiksi.

Secara keseluruhan, aku suka novel ini. Alur cerita, gaya penulisan dan karakter serta emosi para tokoh tersalurkan di sini. Novel ini cocok di baca oleh segala usia.

Sampai jumpa di review selajutnya ^^

***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:

G+

1 komentar:

  1. wahhh keren reviewnya ini.... bagus....
    jadi pengen bca keseluruhan bukunya ini...

    BalasHapus

Berikan komentarmu disini

 
;