A Monster Calls
by Patrick Ness
Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama
Alih Bahasa Nadya
Andwiani
Editor Barokah
Ruziati
Published 2, febuari
2016
Pages 216
Rate 5 of 5
Sang Monster Muncul Persis Lewat
Tengah Malam. Seperti Monster-Monster Lain. Tetapi, dia bukanlah monster
seperti yang dibayangkan Conor. Conor mengira sang monster seperti dalam mimpi
buruknya, yang mendatanginya hampir setiap malam sejak Mum mulai menjalani
pengobatan, monster yang datang bersama selimut kegelapan, desau angin, dan
jeritan… Monster ini berbeda. Dia kuno, liar. Dan dia menginginkan hal yang
paling berbahaya dari Conor. Dia Menginginkan Kebenaran.
Dalam buku karya dua pemenang
Carnegie Medal ini, Patrick Ness merangkai kisah menyentuh tentang cinta,
kehilangan, dan harapan. Ia menulisnya berdasarkan ide final Siobhan Dowd,
penulis yang meninggal akibat kanker.
Ini memang kisah sedih. Tetapi kisah
ini juga bijak, kelam namun lucu dan berani, dengan kalimat-kalimat singkat,
dilengkapi gambar-gambar fantastis dan keheningan-keheningan yang menggugah. A
MONSTER CALLS merupakan hadiah dari penulis luar biasa dan karya seni yang
mengagumkan.
Conor O’Malley berusia tiga belas
tahun. Setiap malam ia selalu mimpi buruk dan terbangun pukul 00:07. Saat
terbangun, ia di datangi oleh pohow yew yang berdiri di belakang rumahnya.
Anehnya Conor tidak takut. Ia malah menantang monster tersebut untuk menangkapnya.
Ada hal lain yang Conor takutkan, yaitu mimpi buruk yang selalu menghantuinya.
“Berteriaklah sesukamu,” Conor
mengangkat bahu, hampir tidak meninggikan suara. “Aku pernah melihat yang lebih
buruk.” – Hal 19
Setelah pertemuan pertamanya
dengan monster pohon yew tersebut, Conor merasa itu semua hanya bagian mimpinya
saja. Mimpi yang terasa nyata. Tapi saat terbangun ia menemukan lantai kamar
tidurnya tertutupi daun yew yang berduri. Padahal jendelanya saat itu terkunci
rapat.
Conor melupakan hal itu dengan
cepat. Karena saat ia berada di sekolah, ia harus menghadapi Harry dan
kawan-kawannnya, Anton dan Sully, yang
mencoba memukulinya semester ini. Lily, sahabat dekat Cornor, mencegah hal itu
terjadi. Sehingga terjadi perkelahian antara Lily dan Sully. Perkelahian
dimenangkan oleh Lily, sialnya terlihat oleh Mrs Kwan. Saat di tanya, Lily
mengatakan bahwa ia membela Conor, tapi ketika ditanya pada Conor, Conor tidak
mengatakan apa-apa. Conor mengatakan Lily berbohong. Sehingga mengundang
tatapan tidak percaya dari gadis kecil itu. Masalah Conor belum berhenti sampai
disitu, ibunya harus menjalani beberapa pengobatan dan Conor harus tinggal
bersama nenek yang tidak ia sukai.
Malamnya, ia bertemu lagi dengan
sang monster. Kali ini ia menjelaskan maksud kedatangnnya. Sang monster akan
menceritakan tiga kisah kepada Conor, lalu sang monster mengharapkan Conor akan
menceritakan kisah keempat kepadanya.
Ini bukan tentang apa yang
kuinginkan darimu, Conor O’Malley, katanya. Melainkan tentang apa yang kauinginkan
dariku. – hal 40
Kau tahu bahwa kebenaranmu,
kebenaran yang kausembunyikan, Conor O’Malley adalah hal yang paling
kautakutkan. – hal 46
Dan sekali lagi Conor yakin,
bahwa monster itu bukan mimpi. Karena paginya ia menemukan buah beri pohon yew
yang beracun berada di dalam kamar yang jendela dan pintunya terkunci rapat.
My Review
Novel ini menceritakan tentang
seorang anak laki-laki yang menghadapi masalah berat dalam hidupnya. Aku
sendiri tidak membayangkan anak laki-laki berusia tiga belas tahun harus
merasakan penderitaan yang tidak seharusnya ia rasakan. Penderitaan itu di
tampilkan dalam bentuk mimpi buruk yang terus menghantuinya. Mimpi buruk itulah
yang mengundang sang monster pohon yew.
Ibunya yang sakit-sakitan.
Tinggal bersama neneknya yang memiliki aturan ketat. Ayahnya yang lebih memilih
tinggal bersama keluarga barunya. Bully dari teman-temannya. Lily yang
mengkhianati kepercayaan Conor dan Conor yang menjauh dari kehidupan sehingga ia
sering di abaikan oleh orang sekitar. Ia seperti kasat mata.
Aku sangat suka alur yang
dibawakan oleh Patrick, rasa mencekam ketika monster itu datang begitu terasa.
Kisah-kisah yang ia ceritakan pun rasanya sepertinya nyata. Rasa mencekam itu
di perkuat lagi dengan ilustrasi-ilustrasi dari Jim Kay. Membaca novel ini,
seperti membaca novel R.L. Stine tanpa ilustrasi. Rasa yang di hadirkan sama
persis.
Setiap lembar halaman ini, tidak
memberikan alasan untuk aku menghentikan membaca kelanjutan di halaman
sebelumnya. Ada rasa penasaran yang di selipkan oleh Patrick dalam setiap
halaman. Misalkan saja ketika Conor harus menghadapi ibunya setiap hari. Ia
sayang kepada ibunya, tapi ia berusaha tegar. Berusaha bahwa semua baik-baik
saja. Lalu ada juga kasus pembully-an. Conor sebenarnya bisa saja mengadu, tapi
ia tidak melakukannya. Ia bukannya takut pada Harry, yang membully-nya setiap
hari, malah Conor selalu menatap tepat di mata Harry ketika Harry mulai
memukulinya. Belum lagi, kemisteriusan alasan sang monster pohon yew datang
kepadanya tepat pukul 00:07 tepat dan terus mengatakan bahwa Conor-lah yang
memanggilnya. Interaksi paling terasa banget emosinya itu ketika Conor bersama
ayahnya yang datang dari Amerika. Aku nggak bisa jelasin emosi yang aku tangkap
saat itu. Tapi rasanya, aku bergetar saat membaca bagian percakapan ayah dan
conor. Dan bayangkan semua hal itu di rangkum dalam novel berjumlah 216 halaman
plus ilustrasi? Pasti isinya padat dan jelas. Tapi tidak terkesan terburu-buru
atau singkat.
Endingnya, mungkin nggak se-wow
aku bayangkan. Tapi aku nggak menduga bahwa itulah alasan sebenarnya. Alasan
semua teka-teki yang Conor pertanyakan. Terutama mimpi yang lebih menakutkan
dari sosok monster pohon yew itu sendiri. Aku sampai nggak percaya bahwa
Conorlah yang melakukan itu. Dan asal tahu aja, endingnya cukup menguras emosi
*nangis di pojokan*
Tapi satu hal yang ingin aku
kritik dari Gramedia. Dua tahun belakangan ini, setiap kali aku beli buku baru
terbitan gramedia, halaman bukunya mudah sekali lepas. Kalau tidak lepas akan
terkupas lemnya. Padahal dari aku mulai menyukai membaca, aku selalu memilih
gramedia sebagai penerbit kesukaanku, dan buku-buku gramedia zaman dulu lebih
awet daripada zaman sekarang. Please gramed, perbaiki kualitasmu!!!
Secara keseluruhan novel ini
perfect buat aku. Tidak ada alasan untuk aku tidak menyukai novel ini. dan
novel ini cocok buat semua umur. Terutama anak-anak. Walaupun ceritanya tentang
mosnter, tidak ada unsur seram atau sadisnya. Malah cenderung kebajikan-kebajikan
oleh sang monster. Novel ini mengajarkan kita untuk berani menghadapi kebenaran
meski kebenaran itu lebih menakutkan dari monster. Saat kebenaran itu
terungkap, sejatinya kita sudah berani menghadapi apa yang paling kita takuti.
Perasaan akan lebih lega dan hati mampu menerima itu semua.
Sampai jumpa di review
selanjutnya ^^
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam:
iya bukunya juga bagus. udah baca buku ini juga nih.
BalasHapus