Selasa, 09 Agustus 2016

[Review Buku] A Monster Calls by Patrick Ness



A Monster Calls
by Patrick Ness
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa Nadya Andwiani
Editor Barokah Ruziati
Published 2, febuari 2016
Pages 216
Rate 5 of 5

Sang Monster Muncul Persis Lewat Tengah Malam. Seperti Monster-Monster Lain. Tetapi, dia bukanlah monster seperti yang dibayangkan Conor. Conor mengira sang monster seperti dalam mimpi buruknya, yang mendatanginya hampir setiap malam sejak Mum mulai menjalani pengobatan, monster yang datang bersama selimut kegelapan, desau angin, dan jeritan… Monster ini berbeda. Dia kuno, liar. Dan dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor. Dia Menginginkan Kebenaran.
Dalam buku karya dua pemenang Carnegie Medal ini, Patrick Ness merangkai kisah menyentuh tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Ia menulisnya berdasarkan ide final Siobhan Dowd, penulis yang meninggal akibat kanker.
Ini memang kisah sedih. Tetapi kisah ini juga bijak, kelam namun lucu dan berani, dengan kalimat-kalimat singkat, dilengkapi gambar-gambar fantastis dan keheningan-keheningan yang menggugah. A MONSTER CALLS merupakan hadiah dari penulis luar biasa dan karya seni yang mengagumkan.
Conor O’Malley berusia tiga belas tahun. Setiap malam ia selalu mimpi buruk dan terbangun pukul 00:07. Saat terbangun, ia di datangi oleh pohow yew yang berdiri di belakang rumahnya. Anehnya Conor tidak takut. Ia malah menantang monster tersebut untuk menangkapnya. Ada hal lain yang Conor takutkan, yaitu mimpi buruk yang selalu menghantuinya.
“Berteriaklah sesukamu,” Conor mengangkat bahu, hampir tidak meninggikan suara. “Aku pernah melihat yang lebih buruk.” – Hal 19
Setelah pertemuan pertamanya dengan monster pohon yew tersebut, Conor merasa itu semua hanya bagian mimpinya saja. Mimpi yang terasa nyata. Tapi saat terbangun ia menemukan lantai kamar tidurnya tertutupi daun yew yang berduri. Padahal jendelanya saat itu terkunci rapat.

Conor melupakan hal itu dengan cepat. Karena saat ia berada di sekolah, ia harus menghadapi Harry dan kawan-kawannnya, Anton dan Sully,  yang mencoba memukulinya semester ini. Lily, sahabat dekat Cornor, mencegah hal itu terjadi. Sehingga terjadi perkelahian antara Lily dan Sully. Perkelahian dimenangkan oleh Lily, sialnya terlihat oleh Mrs Kwan. Saat di tanya, Lily mengatakan bahwa ia membela Conor, tapi ketika ditanya pada Conor, Conor tidak mengatakan apa-apa. Conor mengatakan Lily berbohong. Sehingga mengundang tatapan tidak percaya dari gadis kecil itu. Masalah Conor belum berhenti sampai disitu, ibunya harus menjalani beberapa pengobatan dan Conor harus tinggal bersama nenek yang tidak ia sukai.

Malamnya, ia bertemu lagi dengan sang monster. Kali ini ia menjelaskan maksud kedatangnnya. Sang monster akan menceritakan tiga kisah kepada Conor, lalu sang monster mengharapkan Conor akan menceritakan kisah keempat kepadanya.
Ini bukan tentang apa yang kuinginkan darimu, Conor O’Malley, katanya. Melainkan tentang apa yang kauinginkan dariku. – hal 40
Kau tahu bahwa kebenaranmu, kebenaran yang kausembunyikan, Conor O’Malley adalah hal yang paling kautakutkan. – hal 46
Dan sekali lagi Conor yakin, bahwa monster itu bukan mimpi. Karena paginya ia menemukan buah beri pohon yew yang beracun berada di dalam kamar yang jendela dan pintunya terkunci rapat.



My Review

Novel ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang menghadapi masalah berat dalam hidupnya. Aku sendiri tidak membayangkan anak laki-laki berusia tiga belas tahun harus merasakan penderitaan yang tidak seharusnya ia rasakan. Penderitaan itu di tampilkan dalam bentuk mimpi buruk yang terus menghantuinya. Mimpi buruk itulah yang mengundang sang monster pohon yew.

Ibunya yang sakit-sakitan. Tinggal bersama neneknya yang memiliki aturan ketat. Ayahnya yang lebih memilih tinggal bersama keluarga barunya. Bully dari teman-temannya. Lily yang mengkhianati kepercayaan Conor dan Conor yang menjauh dari kehidupan sehingga ia sering di abaikan oleh orang sekitar. Ia seperti kasat mata.

Aku sangat suka alur yang dibawakan oleh Patrick, rasa mencekam ketika monster itu datang begitu terasa. Kisah-kisah yang ia ceritakan pun rasanya sepertinya nyata. Rasa mencekam itu di perkuat lagi dengan ilustrasi-ilustrasi dari Jim Kay. Membaca novel ini, seperti membaca novel R.L. Stine tanpa ilustrasi. Rasa yang di hadirkan sama persis.

Setiap lembar halaman ini, tidak memberikan alasan untuk aku menghentikan membaca kelanjutan di halaman sebelumnya. Ada rasa penasaran yang di selipkan oleh Patrick dalam setiap halaman. Misalkan saja ketika Conor harus menghadapi ibunya setiap hari. Ia sayang kepada ibunya, tapi ia berusaha tegar. Berusaha bahwa semua baik-baik saja. Lalu ada juga kasus pembully-an. Conor sebenarnya bisa saja mengadu, tapi ia tidak melakukannya. Ia bukannya takut pada Harry, yang membully-nya setiap hari, malah Conor selalu menatap tepat di mata Harry ketika Harry mulai memukulinya. Belum lagi, kemisteriusan alasan sang monster pohon yew datang kepadanya tepat pukul 00:07 tepat dan terus mengatakan bahwa Conor-lah yang memanggilnya. Interaksi paling terasa banget emosinya itu ketika Conor bersama ayahnya yang datang dari Amerika. Aku nggak bisa jelasin emosi yang aku tangkap saat itu. Tapi rasanya, aku bergetar saat membaca bagian percakapan ayah dan conor. Dan bayangkan semua hal itu di rangkum dalam novel berjumlah 216 halaman plus ilustrasi? Pasti isinya padat dan jelas. Tapi tidak terkesan terburu-buru atau singkat.

Endingnya, mungkin nggak se-wow aku bayangkan. Tapi aku nggak menduga bahwa itulah alasan sebenarnya. Alasan semua teka-teki yang Conor pertanyakan. Terutama mimpi yang lebih menakutkan dari sosok monster pohon yew itu sendiri. Aku sampai nggak percaya bahwa Conorlah yang melakukan itu. Dan asal tahu aja, endingnya cukup menguras emosi *nangis di pojokan*

Tapi satu hal yang ingin aku kritik dari Gramedia. Dua tahun belakangan ini, setiap kali aku beli buku baru terbitan gramedia, halaman bukunya mudah sekali lepas. Kalau tidak lepas akan terkupas lemnya. Padahal dari aku mulai menyukai membaca, aku selalu memilih gramedia sebagai penerbit kesukaanku, dan buku-buku gramedia zaman dulu lebih awet daripada zaman sekarang. Please gramed, perbaiki kualitasmu!!!

Secara keseluruhan novel ini perfect buat aku. Tidak ada alasan untuk aku tidak menyukai novel ini. dan novel ini cocok buat semua umur. Terutama anak-anak. Walaupun ceritanya tentang mosnter, tidak ada unsur seram atau sadisnya. Malah cenderung kebajikan-kebajikan oleh sang monster. Novel ini mengajarkan kita untuk berani menghadapi kebenaran meski kebenaran itu lebih menakutkan dari monster. Saat kebenaran itu terungkap, sejatinya kita sudah berani menghadapi apa yang paling kita takuti. Perasaan akan lebih lega dan hati mampu menerima itu semua.

Sampai jumpa di review selanjutnya ^^

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam:

 

G+

1 komentar:

Berikan komentarmu disini

 
;