Jumat, 12 Februari 2016

[Review Buku] Pay it Foward - Emma Grace



Pay it Foward
by Emma Grace
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Editor oleh Tri Saputra Sakti
Cetakan ke-1; April 2015; 256  Hlm
Rate 4 of 5

Tedjas

Astaga, gadis itu sudah gila. Pasti!

Gue nggak pernah berminat untuk komentar di status orang di Facebook, apalagi ikut-ikutan dalam permainan apa pun. Tapi, gadis itu bilang apa tadi? Pay it Forward?

Cih, permainan apa itu?



Gitta

Aku nggak pernah mengira bisa membenci seorang pria. Seperti aku membenci Tedjs. Sejak pertama bertemu dia selalu bersikap menyebalkan. Seakan belum cukup, dia juga menghinaku habis-habiskan di depan banyak orang. Semakin jauh jarak terbentang di antara kami, itu semakin baik!


Itu yang Tedjas dan Gitta pikirkan.

Tapi ketika rasa cinta menggedor semakin kuat, sanggupkah mereka berdua tetap berpura-pura bahwa kedekatan itu tak pernah nyata?


Gita mengecek status di facebook-nya dan mendapati sebuah permainan yang bernama pay it forward yang dimulai oleh Yunike Setiabudi, salah seorang teman facebook-nya. Tanpa ragu, Gita membubuhkan komentar I’m in di status tersebut, hingga akhirnya ia terpilih mendapatkan hadiah yang akan diberikan oleh Yunike. Dengan satu syarat, Gita harus meneruskan permainan ini dengan cara meng-copy paste status tersebut dan memilih tiga komentar pertama yang masuk, yang akan diberi hadiah juga.

Gita gembira melihat respon para komentator di status facebook-nya, tapi ia terkejut saat melihat nama Tedjas Hadisukmana adalah salah satu orang yang tercepat memberikan komentarnya. Mau tidak mau bayangan tentang Tedjas beberapa tahun lalu saat masa orientasi, membuat Gita enggan menjalin hubungan apapun dengannya. Tapi sesuai aturan permainan, Gita harus melakukannya.

Gita mengirimnya pesan melalui inbox, tapi nihil. Laki-laki itu tidak menggubrisnya sama sekali. kebetulan sekali saat itu Tedjas kelihatan di kampus. Dengan dandanan ala preman-nya ia mendengus kesal memandang siapapun yang ada di dekatnya.

Gita yang emosi karena pesannya tidak dibalas-balas, menghampiri laki-laki itu dan memakinya habis-habisan serta melontarkan tuduhan yang tidak mendasar sama sekali.

Tapi Gita tidak pernah tahu, bahwa semenjak kejadian itu ia harus tetap berhubungan dengan Tedjas. Demi menyelesaikan permainan yang telah ia buat. Janji yang telah ia buat kepada Yunike. Janji untuk menyebarkan kebaikan kepada orang lain.

Sayangnya, Tedjas tidak berniat meladeni janji itu.....

***


Satu kalimat komentar buat novel ini adalah: aku suka banget sama cerita satu ini ^^

Ada 2 konflik disini, pertama konflik antara Gitta dan Ayahnya, kedua konflik antara Gitta dan Tedjas. Tapi Emma berhasil membuat cerita ini saling bersisian tanpa mengurangi sama sekali porsi dari masing-masing tokoh. Kekeluargaannya dapat, dan kisah cintanya juga dapat. Aku suka dengan konflik yang ringan seperti ini tapi di buat dramatis oleh Emma tanpa terkesan lebay.

Bahasa yang dipakai Emma juga enak banget buat dibaca. Aku suka gimana dia mendeskripsikan sekitar Gitta. Tidak terlalu berlebihan dan setidaknya cukup terbayang di benak aku gimana tempat yang sedang di datangi Gitta itu. Pokoknya segala sesuatu yang ditulis oleh Emma begitu pas. Rasanya aku bisa ngebayangi gimana tempat itu, khususnya saat deksripsi rumah Tedjas. Langsung dapat bayangannya hehe ...

Kisah kekeluargaannya pun memang gak mengundang decak kagum sih, tapi konflik batin Gitta saat bermusuhan dengan ayahnya itu terasa banget di hati. Suka pokonya ....

Karakter adalah hal yang paling utama. Emma juga berhasil, sekali lagi pujian ini aku sematkan padanya, karena ia berhasil membuat perbedaan karakter Gitta dan Tedjas. Perubahan Tedjas yang awalnya terkesan preman kampus menjadi cowok baik hati yang perhatian tidak terlalu kentara, perlahan tapi pasti. Meski sifat seenaknya sendiri tetap ada.

Sayangnya ....

Aku masih ngerasa beberapa dialog Tedjas itu agak menggambarkan tokoh cewek. Rasanya terlalu manja dan gak ke-cowok-an banget. Meski beberapa dialog cocoklah dengan karakter dia, Cuma yah beberapa. Aku harap Emma kedepannya bisa lebih konsisten dalam pemberian dialog, agar cocok dengan karakter yang telah ia gunakan.

Oh ya, ini kan masuk katagori young adult yah? Kok aku ngerasa masih kurang cocok yang masuk katagori itu. Disini Gitta masih labil banget, dan terkesan membangkang. Khas anak-anak SMA yang lagi puber. Kalau dibilang dewasa, teman Gitta yang bernama Kartika lebih berpikiran dewasa daripada Gitta.

Aku bingung. Ini kuliah kan? Kok pake istilah “masa orientasi siswa” ya? Atau Emma punya penjelasan sendiri untuk ini?

Khusus konflik Gitta-Tedjas yang mendekati ending agak terlalu “mendadak”. Soalnya Emma memunculkan tokoh baru yang berperan sebagai pemancing keributan Gitta-Tedjas. Emma memang membuat hal tersebut terkesan alami dan terasa normal, tapi entah kenapa rasanya aku kurang suka dengan hal tersebut. Membuat aku sendiri bertanya, lho kok ngapain dia muncul?

Secara keseluruhan, memang tidak ada sesuatu yang baru disini. Konflik, karakter dan endingnya pun udah ada di depan mata alias ketebak kemana arahnya. Tapi Emma berhasil menulisnya dengan baik, bumbu kedekatan Gitta-Tedjas yang akrab dan mengundang senyum berhasil membuat aku betah baca buku ini. Cara Gitta menyelesaikan masalah dengan ayahnya pun terbilang sederhana, tapi cukup ngena di hati. Intinya adalah aku suka buku ini meski dengan beberapa kekurangan yang telah aku sebutkan.

Meski masuk katagori YA, tapi aku tidak masalah jika buku ini dibaca oleh remaja dibawah umur 15 tahun. Aman pokoknya. Kisah cintanya juga gak bikin hati emak-emak was-was kalau anaknya baca novel ini haha ...

Di dalam novel ini kita diajarkan untuk bisa mendengar sebuah cerita dari dua sisi yang berbeda. Tidak semua yang kita lihat dari kacamata kita itu adalah benar dan orang lain salah. Kita dituntut untuk mendengarkan dan memberi kesempatan pada masing-masing orang tersebut.



Tulisan ini diikutsertakan dalam:


G+

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentarmu disini

 
;