Pay it Foward
by Emma Grace
Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama
Editor oleh Tri
Saputra Sakti
Cetakan ke-1; April
2015; 256 Hlm
Rate 4 of 5
Tedjas
Astaga, gadis itu sudah gila. Pasti!
Gue nggak pernah berminat untuk
komentar di status orang di Facebook, apalagi ikut-ikutan dalam permainan apa
pun. Tapi, gadis itu bilang apa tadi? Pay it Forward?
Cih, permainan apa itu?
Gitta
Aku nggak pernah mengira bisa
membenci seorang pria. Seperti aku membenci Tedjs. Sejak pertama bertemu dia
selalu bersikap menyebalkan. Seakan belum cukup, dia juga menghinaku
habis-habiskan di depan banyak orang. Semakin jauh jarak terbentang di antara
kami, itu semakin baik!
Itu yang Tedjas dan Gitta pikirkan.
Tapi ketika rasa cinta menggedor
semakin kuat, sanggupkah mereka berdua tetap berpura-pura bahwa kedekatan itu
tak pernah nyata?
Gita mengecek status di facebook-nya dan mendapati sebuah
permainan yang bernama pay it forward yang
dimulai oleh Yunike Setiabudi, salah seorang teman facebook-nya. Tanpa ragu, Gita membubuhkan komentar I’m in di
status tersebut, hingga akhirnya ia terpilih mendapatkan hadiah yang akan
diberikan oleh Yunike. Dengan satu syarat, Gita harus meneruskan permainan ini
dengan cara meng-copy paste status
tersebut dan memilih tiga komentar pertama yang masuk, yang akan diberi hadiah
juga.
Gita gembira melihat respon para
komentator di status facebook-nya, tapi ia terkejut saat melihat nama Tedjas
Hadisukmana adalah salah satu orang yang tercepat memberikan komentarnya. Mau
tidak mau bayangan tentang Tedjas beberapa tahun lalu saat masa orientasi,
membuat Gita enggan menjalin hubungan apapun dengannya. Tapi sesuai aturan
permainan, Gita harus melakukannya.
Gita mengirimnya pesan melalui
inbox, tapi nihil. Laki-laki itu tidak menggubrisnya sama sekali. kebetulan
sekali saat itu Tedjas kelihatan di kampus. Dengan dandanan ala preman-nya ia
mendengus kesal memandang siapapun yang ada di dekatnya.
Gita yang emosi karena pesannya
tidak dibalas-balas, menghampiri laki-laki itu dan memakinya habis-habisan serta
melontarkan tuduhan yang tidak mendasar sama sekali.
Tapi Gita tidak pernah tahu,
bahwa semenjak kejadian itu ia harus tetap berhubungan dengan Tedjas. Demi
menyelesaikan permainan yang telah ia buat. Janji yang telah ia buat kepada
Yunike. Janji untuk menyebarkan kebaikan kepada orang lain.
Sayangnya, Tedjas tidak berniat
meladeni janji itu.....
***
Satu kalimat komentar buat novel
ini adalah: aku suka banget sama cerita satu ini ^^
Ada 2 konflik disini, pertama
konflik antara Gitta dan Ayahnya, kedua konflik antara Gitta dan Tedjas. Tapi
Emma berhasil membuat cerita ini saling bersisian tanpa mengurangi sama sekali
porsi dari masing-masing tokoh. Kekeluargaannya dapat, dan kisah cintanya juga
dapat. Aku suka dengan konflik yang ringan seperti ini tapi di buat dramatis
oleh Emma tanpa terkesan lebay.
Bahasa yang dipakai Emma juga
enak banget buat dibaca. Aku suka gimana dia mendeskripsikan sekitar Gitta.
Tidak terlalu berlebihan dan setidaknya cukup terbayang di benak aku gimana
tempat yang sedang di datangi Gitta itu. Pokoknya segala sesuatu yang ditulis
oleh Emma begitu pas. Rasanya aku bisa ngebayangi gimana tempat itu, khususnya
saat deksripsi rumah Tedjas. Langsung dapat bayangannya hehe ...
Kisah kekeluargaannya pun memang
gak mengundang decak kagum sih, tapi konflik batin Gitta saat bermusuhan dengan
ayahnya itu terasa banget di hati. Suka pokonya ....
Karakter adalah hal yang paling
utama. Emma juga berhasil, sekali lagi pujian ini aku sematkan padanya, karena
ia berhasil membuat perbedaan karakter Gitta dan Tedjas. Perubahan Tedjas yang
awalnya terkesan preman kampus menjadi cowok baik hati yang perhatian tidak
terlalu kentara, perlahan tapi pasti. Meski sifat seenaknya sendiri tetap ada.
Sayangnya ....
Aku masih ngerasa beberapa dialog
Tedjas itu agak menggambarkan tokoh cewek. Rasanya terlalu manja dan gak
ke-cowok-an banget. Meski beberapa dialog cocoklah dengan karakter dia, Cuma
yah beberapa. Aku harap Emma kedepannya bisa lebih konsisten dalam pemberian
dialog, agar cocok dengan karakter yang telah ia gunakan.
Oh ya, ini kan masuk katagori young adult yah? Kok aku ngerasa masih
kurang cocok yang masuk katagori itu. Disini Gitta masih labil banget, dan
terkesan membangkang. Khas anak-anak SMA yang lagi puber. Kalau dibilang
dewasa, teman Gitta yang bernama Kartika lebih berpikiran dewasa daripada
Gitta.
Aku bingung. Ini kuliah kan? Kok
pake istilah “masa orientasi siswa” ya? Atau Emma punya penjelasan sendiri
untuk ini?
Khusus konflik Gitta-Tedjas yang
mendekati ending agak terlalu “mendadak”. Soalnya Emma memunculkan tokoh baru yang
berperan sebagai pemancing keributan Gitta-Tedjas. Emma memang membuat hal
tersebut terkesan alami dan terasa normal, tapi entah kenapa rasanya aku kurang
suka dengan hal tersebut. Membuat aku sendiri bertanya, lho kok ngapain dia muncul?
Secara keseluruhan, memang tidak
ada sesuatu yang baru disini. Konflik, karakter dan endingnya pun udah ada di
depan mata alias ketebak kemana arahnya. Tapi Emma berhasil menulisnya dengan
baik, bumbu kedekatan Gitta-Tedjas yang akrab dan mengundang senyum berhasil
membuat aku betah baca buku ini. Cara Gitta menyelesaikan masalah dengan
ayahnya pun terbilang sederhana, tapi cukup ngena di hati. Intinya adalah aku
suka buku ini meski dengan beberapa kekurangan yang telah aku sebutkan.
Meski masuk katagori YA, tapi aku
tidak masalah jika buku ini dibaca oleh remaja dibawah umur 15 tahun. Aman
pokoknya. Kisah cintanya juga gak bikin hati emak-emak was-was kalau anaknya
baca novel ini haha ...
Di dalam
novel ini kita diajarkan untuk bisa mendengar sebuah cerita dari dua sisi yang
berbeda. Tidak semua yang kita lihat dari kacamata kita itu adalah benar dan
orang lain salah. Kita dituntut untuk mendengarkan dan memberi kesempatan pada
masing-masing orang tersebut.
Tulisan ini diikutsertakan dalam:
- Read at Your Own Risk 2016
- Indonesian Romance Reading Challenge 2016
- Young Adult Reading Challenge 2016
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentarmu disini