Senin, 19 Oktober 2015

[Review Buku] Lafaz Cinta by Sinta Yudisia

Lafaz Cinta: Serpih-serpih Cinta Makkah-Groningen
by Sinta Yudisia
Penerbit Mizan
Penyunting Naskah by Salman Iskandar
Cetakan ke-4; April 2008; 269 hlm
Desain sampul by Dodi Rosadi dan Tumes
Rate 5 of 5

Ketika doanya di Raudhah Asy-Syarifah tak terkabulkan, hati Seyla hancur berkeping-keping. Zen yang diharapkan menjadi suaminya kelak, lebih memilih Lila dengan alasan yang sulit dimengerti Seyla. Demi menata kembali hatinya, Seyla memutuskan hijrah ke kota Groningen.
Di kota yang jauh lebih modern inilah, Seyla menemukan bermacam cinta dalam berbagai rupa. Hingga Seyla terseret arus pesona seorang pangeran bermata teduh bernama Karl van Veldhuisen. Namun kenyataan pahit kembali menghadang cinta Seyla, Karl telah bertunangan dengan Constance Martina du Barry.
Beranikah Seyla merebut hati Karl seperti halnya Lila yang merampas Zen darinya? Akankah Seyla menghujat Sang Khalik yang memupuskan harapan cintanya setelah dia sengaja berdoa di tempat suci? Benarkah ujian cinta terberat adalah keimanan kita?
Kisah cinta Seyla digulirkan secara menarik oleh Sint Yudisia. Pembaca tidak hanya diajak mencicipi keagungan cinta, tapi juga merasakan kesucian Kota Makkah Serta keindahan Kota Groningen.

Seyla meyakini bahwa Zen kelak akan menjadi suaminya di masa yang akan datang. Kedekatan mereka bukan sekedar dekat, melainkan sudah memasuki tahap serius yang di jalani Seyla-Zen sesuai ketentuan syariat. Zen sempurna bagi Seyla. Zen yang dewasa mengimbangi kecerdasan Seyla. Untuk memperkuat ikatan yang telah mereka jalin, Seyla sengaja umrah untuk mendoakan hubungan mereka direstui oleh Allah.
Pertunangan. Titik balik untuk bersama selamanya atau justru perpisahan yang tak terlupakan rasa sakitnya hal 20
“Manusia sering salah memilih, La.” Mama mengingatkan, “Mintalah yang terbaik.” hal 32
Seyla melarikan diri ke Belanda. Zen yang diharapkan menjadi suaminya memilih Lila, gadis yang dijodohkan oleh Mama Zen. Seyla membenci Zen yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri dan Seyla membenci Lila yang merebut Zen darinya. Kebencian Seyla berubah menjadi pupusnya semangat yang selama ini ia tunjukan. Dan negeri Kincir Angin adalah tujuannya, tinggal bersama Tante Linda yang merupakan adik Mama Seyla. Disana ia bertemu dengan Pangeran Karl van Vendhuizen yang ternyata menaruh perhatian lebih kepada Seyla, sehingga tunangan Pangeran Karl, Putri Constance Martina du Barry, merasa resah dan memusuhi Seyla.
“Jangan jatuh cinta kepada pangeran.” hal 147
Seyla mendapat tekanan hebat dari berbagai pihak ketika hubungannya dengan Pangeran Karl diketahui oleh Parlemen. Dari Judith dan Barbara yang semula adalah teman baik Seyla, lalu bodyguard Putri dan terutama dari Parlemen sendiri. Tapi Seyla membandel, ia tetap meladeni email-email Pangeran dan berhasil mengubah beberapa pemikiran Pangeran hingga menimbulkan masalah dengan Putri, yaitu Putri memutuskan penundaan pernikahan mereka.
“Mencintai dan menikah adalah dua hal yang berbeda. Kau boleh mencintai siapa saja, tapi tak boleh menikah dengan sembarangan orang.” hal 172
Di tengah kecamuk itu, Seyla menemukan sosok Saule, wanita yang berhasil bangkit dari perang yang berkecamkuk, yang bisa Seyla ajak berdiskusi dan melibatkan diri dalam komunitas muslim yang terjun dalam penggalangan dana untuk korban konflik perang. Selama itu pula, Seyla menemukan arti cinta sejati. Dari persahabatan dengan Saule, Judith yang atheis, Barbara yang agnostic, Marko-Ben yang terlibat hubungan terlarang, dan Pangeran-Putri, Seyla akhirnya menemukan jawaban untuk semuanya.
Tapi sanggupkah ia melepas pesona sang Pangeran yang begitu memperhatikannya?
Perhatian Pangeran van Veldhuizen membuatnya kembali sadar bahwa dia bukan seonggok sampah yang patut begitu saja dicampakan. Dia adalah seseorang yang berarti dan memiliki nilai bagi orang lain. hal 158
***

Membaca romance adalah hal yang baru buat aku. Tapi membaca romance yang dibumbui tentang islam itu yang benar-benar baru buat aku. Hasilnya? Aku tercengang kalau ada penulis yang lihai dalam memainkan emosi tanpa perlu terlalu banyak kontak fisik seperti romance pada umumnya.

Dan kisah Seyla adalah kisah yang luar biasa.

Cerita ini seputar patah hati, move on, persahabatan beda agama, dan arti sahabat sejati. Penulis berhasil menuliskannya secara komplek dalam buku ini. Tidak berlebihan, semua pada porsi yang pas. Paling penting, semua hal-hal kecil itu, sangat berkaitan dengan tumbuh kembangnya mental Seyla yang masih “buta” akan islam.

Misalnya aja bagaimana Seyla menerima kisah homo Marko-Ben tapi menolak mendukung pengesahan hubungan itu. Lalu Judith yang atheis dan memiliki lidah setajam pisau. Ada Barbara yang emosinya meledak-ledak karena besar di keluarga broken home. Saule, wanita luar biasa yang bangkit dari korban perang dan bagaimana usahanya di Netherland untuk menggalang dana bagi saudara muslim yang menjadi korban perang, dan tentu saja kehidupan miris dan menyedihkan dibalik kemewahan status pangeran dan putri. Semuanya dirangkum dengan porsi yang pas, dan membuat kita tidak bertanya-tanya bagaimana akhirnya.

Keegoisan Seyla yang menerima dengan terbuka perhatian Pangeran membuat semua runyam. Ia dimusuhi dan dihakimi secara sepihak tanpa bisa membela diri. Tapi ia tidak bisa, karena apa yang mereka katakan adalah kebenaran bahwa dia hanya menjadi orang ketiga dalam hubungan Pangeran-Putri. Dan konflik pun terjadi.

Puncaknya adalah ketika Seyla harus melepaskan Pangeran, tapi pangerannya enggan berpaling dari Seyla. Disini harus aku akui terasa menggetarkan. Bagaimana kita melepas seseorang yang mencintai kita, padahal disisi lain sosok itu sangat menginginkan kita.

Untuk deskripsi aku suka banget. Keindahan kota Makkah terasa menggetarkan jiwa. Pengalaman Seyla umrah rasanya ngena banget dihati. Aku jadi pengen cepat-cepat bisa ke Tanah Suci dan beribadah bersama saudara muslim dari penjuru dunia. Untuk kota Groningennya juga, mantap banget. Padang rumput, gedung-gedung sejarah semua terasa kayak aku lihat dengan mata kepala sendiri. Diksinya pun mengalir lembut tanpa banyak bahasa yang tidak perlu.

Cuma sayangnya entah penulisnya sengaja atau tidak konflik peran utama agak terlalu lama di ungkap oleh penulis. Karena di awal, penulis fokus pada kehidupan baru Seyla di Groningen dan bagaimana Seyla megatasi patah hatinya. Lalu disusul konflik lainya yang gak kalah seru. Perjumpaan dengan Pangeran pun terasa biasa aja bagi Seyla, tapi kedekatan mereka terasa alami, tanpa harus ada kontak fisik seperti berpegangan tangan.

Secara keseluruhan aku suka. Ending yang “memang seharusnya” pun terjadi, dan Seyla menemukan belahan jiwa yang melamarnya. Makanya gak ragu buat ngasih rating 5 untuk novel ini. Bacaan yang ringan untuk menikmati sore hari dengan secangkir teh dan biskuit. Sambil menikmati matahari yang terbenam perlahan-lahan. Mirip dengan covernya yang menggambarkan warna senja hehe (itu opini aku ^^)
“Buah yang baik tumbuh di cabang yang baik, cabang yang baik tumbuh di pohon yang baik, pohon yang baik tumbuh dari akar yang baik. Baik awalnya, baik pula akhirnya. Begitulah kita hidup, begitulah kita bekerja dan menikah salah satunya.” hal 267


G+

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentarmu disini

 
;