Lafaz Cinta: Serpih-serpih Cinta
Makkah-Groningen
by Sinta Yudisia
Penerbit Mizan
Penyunting Naskah by Salman Iskandar
Cetakan ke-4; April 2008; 269 hlm
Desain sampul by Dodi Rosadi dan
Tumes
Rate 5 of 5
Ketika doanya di Raudhah Asy-Syarifah tak terkabulkan, hati
Seyla hancur berkeping-keping. Zen yang diharapkan menjadi suaminya kelak,
lebih memilih Lila dengan alasan yang sulit dimengerti Seyla. Demi menata
kembali hatinya, Seyla memutuskan hijrah ke kota Groningen.
Di kota yang jauh lebih modern inilah, Seyla menemukan
bermacam cinta dalam berbagai rupa. Hingga Seyla terseret arus pesona seorang
pangeran bermata teduh bernama Karl van Veldhuisen. Namun kenyataan pahit
kembali menghadang cinta Seyla, Karl telah bertunangan dengan Constance Martina
du Barry.
Beranikah Seyla merebut hati Karl seperti halnya Lila yang
merampas Zen darinya? Akankah Seyla menghujat Sang Khalik yang memupuskan
harapan cintanya setelah dia sengaja berdoa di tempat suci? Benarkah ujian
cinta terberat adalah keimanan kita?
Kisah cinta Seyla digulirkan secara menarik oleh Sint
Yudisia. Pembaca tidak hanya diajak mencicipi keagungan cinta, tapi juga
merasakan kesucian Kota Makkah Serta keindahan Kota Groningen.
Seyla meyakini bahwa Zen kelak akan menjadi suaminya di masa
yang akan datang. Kedekatan mereka bukan sekedar dekat, melainkan sudah
memasuki tahap serius yang di jalani Seyla-Zen sesuai ketentuan syariat. Zen
sempurna bagi Seyla. Zen yang dewasa mengimbangi kecerdasan Seyla. Untuk
memperkuat ikatan yang telah mereka jalin, Seyla sengaja umrah untuk mendoakan
hubungan mereka direstui oleh Allah.
Pertunangan. Titik balik untuk bersama selamanya atau justru
perpisahan yang tak terlupakan rasa sakitnya – hal 20
“Manusia sering salah memilih, La.” Mama mengingatkan,
“Mintalah yang terbaik.” – hal 32
“Jangan jatuh cinta kepada pangeran.” – hal 147
Seyla mendapat tekanan hebat dari berbagai pihak ketika
hubungannya dengan Pangeran Karl diketahui oleh Parlemen. Dari Judith dan
Barbara yang semula adalah teman baik Seyla, lalu bodyguard Putri dan terutama dari Parlemen sendiri. Tapi Seyla
membandel, ia tetap meladeni email-email Pangeran dan berhasil mengubah
beberapa pemikiran Pangeran hingga menimbulkan masalah dengan Putri, yaitu
Putri memutuskan penundaan pernikahan mereka.
“Mencintai dan menikah adalah dua hal yang berbeda. Kau boleh
mencintai siapa saja, tapi tak boleh menikah dengan sembarangan orang.”− hal 172
Di tengah kecamuk itu, Seyla menemukan sosok Saule, wanita
yang berhasil bangkit dari perang yang berkecamkuk, yang bisa Seyla ajak
berdiskusi dan melibatkan diri dalam komunitas muslim yang terjun dalam
penggalangan dana untuk korban konflik perang. Selama itu pula, Seyla menemukan
arti cinta sejati. Dari persahabatan dengan Saule, Judith yang atheis, Barbara
yang agnostic, Marko-Ben yang terlibat hubungan terlarang, dan Pangeran-Putri,
Seyla akhirnya menemukan jawaban untuk semuanya.
Tapi sanggupkah ia melepas pesona sang Pangeran yang begitu
memperhatikannya?
Perhatian Pangeran van Veldhuizen membuatnya kembali sadar
bahwa dia bukan seonggok sampah yang patut begitu saja dicampakan. Dia adalah
seseorang yang berarti dan memiliki nilai bagi orang lain. – hal 158
***
Membaca romance adalah hal yang baru buat aku. Tapi membaca
romance yang dibumbui tentang islam itu yang benar-benar baru buat aku.
Hasilnya? Aku tercengang kalau ada penulis yang lihai dalam memainkan emosi
tanpa perlu terlalu banyak kontak fisik seperti romance pada umumnya.
Dan kisah Seyla adalah kisah yang luar biasa.
Cerita ini seputar patah hati, move on, persahabatan beda agama, dan arti sahabat sejati. Penulis
berhasil menuliskannya secara komplek dalam buku ini. Tidak berlebihan, semua
pada porsi yang pas. Paling penting, semua hal-hal kecil itu, sangat berkaitan
dengan tumbuh kembangnya mental Seyla yang masih “buta” akan islam.
Misalnya aja bagaimana Seyla menerima kisah homo Marko-Ben
tapi menolak mendukung pengesahan hubungan itu. Lalu Judith yang atheis dan
memiliki lidah setajam pisau. Ada Barbara yang emosinya meledak-ledak karena
besar di keluarga broken home. Saule,
wanita luar biasa yang bangkit dari korban perang dan bagaimana usahanya di
Netherland untuk menggalang dana bagi saudara muslim yang menjadi korban
perang, dan tentu saja kehidupan miris dan menyedihkan dibalik kemewahan status
pangeran dan putri. Semuanya dirangkum dengan porsi yang pas, dan membuat kita
tidak bertanya-tanya bagaimana akhirnya.
Keegoisan Seyla yang menerima dengan terbuka perhatian
Pangeran membuat semua runyam. Ia dimusuhi dan dihakimi secara sepihak tanpa
bisa membela diri. Tapi ia tidak bisa, karena apa yang mereka katakan adalah
kebenaran bahwa dia hanya menjadi orang ketiga dalam hubungan Pangeran-Putri.
Dan konflik pun terjadi.
Puncaknya adalah ketika Seyla harus melepaskan Pangeran, tapi
pangerannya enggan berpaling dari Seyla. Disini harus aku akui terasa
menggetarkan. Bagaimana kita melepas seseorang yang mencintai kita, padahal
disisi lain sosok itu sangat menginginkan kita.
Untuk deskripsi aku suka banget. Keindahan kota Makkah terasa
menggetarkan jiwa. Pengalaman Seyla umrah rasanya ngena banget dihati. Aku jadi
pengen cepat-cepat bisa ke Tanah Suci dan beribadah bersama saudara muslim dari
penjuru dunia. Untuk kota Groningennya juga, mantap banget. Padang rumput,
gedung-gedung sejarah semua terasa kayak aku lihat dengan mata kepala sendiri. Diksinya
pun mengalir lembut tanpa banyak bahasa yang tidak perlu.
Cuma sayangnya ─entah penulisnya sengaja atau tidak─ konflik peran utama agak terlalu
lama di ungkap oleh penulis. Karena di awal, penulis fokus pada kehidupan baru
Seyla di Groningen dan bagaimana Seyla megatasi patah hatinya. Lalu disusul
konflik lainya yang gak kalah seru. Perjumpaan dengan Pangeran pun terasa biasa
aja bagi Seyla, tapi kedekatan mereka terasa alami, tanpa harus ada kontak
fisik seperti berpegangan tangan.
Secara keseluruhan aku suka. Ending yang “memang seharusnya”
pun terjadi, dan Seyla menemukan belahan jiwa yang melamarnya. Makanya gak ragu
buat ngasih rating 5 untuk novel ini. Bacaan yang ringan untuk menikmati sore
hari dengan secangkir teh dan biskuit. Sambil menikmati matahari yang terbenam
perlahan-lahan. Mirip dengan covernya yang menggambarkan warna senja hehe (itu
opini aku ^^)
“Buah yang baik tumbuh di cabang
yang baik, cabang yang baik tumbuh di pohon yang baik, pohon yang baik tumbuh
dari akar yang baik. Baik awalnya, baik pula akhirnya. Begitulah kita hidup,
begitulah kita bekerja dan menikah salah satunya.” – hal 267
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentarmu disini