Lara
A Dark Story Of a
Woman
Copyright © Sybill Affiat
Penerbit Stiletto
Book
Editor by Weka Swasti
Cetakan ke-1; April
2015; 233 Hlm
Desain Cover by
Theresia Rosary
Rate 4 of 5
“L-a-r-a? Tolong aku?!”
Tampilan layar komputer memunculkan
sosok perempuan yang berwajah putih pucat. Rambut perempuan kusut masai
menutupi sebagian wajahnya yang semakin mendekat, hingga hanya tampak sepasang
mata yang terus menatap dengan sorot dingin dan hampa. Lara menjerit
sekencang-kencangnya dan menutup komputer dengan sekali hempasan.
***
Namaku Larashinta. Panggil aku Lara.
Aku benar-benar tak mampu lagi
menyangkal perasaan aneh yang semakin berat menggelayuti hati dan pikiran. Aku
merasa seperti mengambang dan tidak berada di dalam kehidupanku. Aku bahkan
tidak bisa mengingat jadwal kuliah dan tugas-tugasku. Aku benar-benar terasing,
seolah hidup sendirian di dunia ini. Aku tidak bisa bertemu dengan sahabat dan
teman-temanku, aku juga tidak bisa mengobrol santai dengan Mbak Saras, kakakku.
Situasi ini membuatku frustasi.
Rasanya bagaikan berjalan di atas bumi kehilangan gravitasi. Segala usaha yang
aku lakukan untuk menjejakkan kaki di atas daratan sia-sia. Apa yang
sebernarnya terjadi padaku?
Lara terbangun dari mimpi
buruknya pada pukul 3 dini hari. Ia masih merasakan kengerian mengingat
mimpinya yang baru saja ia alami. Dan kengerian itu terus berlanjut hingga Lara
sendiri tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Mbak Saras – kakak Lara – tiba-tiba mendiamkan
Lara tanpa sebab. Ibunya tidak bicara lagi padanya, sebenarnya bukan hal aneh,
karena ibunya sudah bersikap demikan semenjak kematian ayah Lara. Seakan sikap
permusuhan ibu menular, Mbok Yam –
Pembantu rumah tangga Lara−
pun ikut mendiamkan Lara tanpa sebab.
Dimas dan Faira –sahabat
karib Lara− tidak
pernah terlihat lagi. Lara merasa kesepian, seakan semua dunia memusuhinya
tanpa alasan yang ia ketahui.
Lara juga seakan kehilangan
memorinya sebagian akan sesuatu yang tengah ia kerjakan. Seperti melupakan
jadwal kuliah dan tugas-tugasnya. Ia semakin terpuruk ketika Mbak Saras, orang
yang paling mengerti dirinya, teman bicaranya, saudara sekaligus teman mendadak
diam seribu bahasa. Tidak ada sepatah katapun terucap, bahkan menatap Lara pun
tidak.
Tapi semua terungkap sedikit-demi
sedikit ketika memorinya yang entah dari masa-masa lalu muncul kepermukaan.
Memberikan kegembiraan sekaligus jawaban apa yang dialaminya saat ini. Awalnya
ia gembira bisa mengingat sebagian masa kecilnya ketika ayahnya masih hidup dan
ibunya masih menyayangi Lara dan kakaknya. Ketika pertemuannya dengan Dimas,
dan bagaimana hubungan Lara dan Faira bisa begitu dekat. Semuanya indah.
Tapi tidak bertahan lama.
Kenyataan makin terungkap ketika
suatu malam ia melihat Rayan –kekasihnya
– berdiri di depan
pintu rumahnya dalam keadaan berdarah-darah.
***
Akhirnya menyelesaikan juga buku
ini. Kalau genre horor gini, gak ada alasan buat aku ngelama-lamain bacanya. Sekitar
dua hari aku menyelesaikannya, di sela-sela waktu menjaga bayi kecilku yang
aktifnya minta ampun hehe
Pembukaan cerita ini benar-benar
bikin bingung dan penasaran. Sampai aku tidak bisa mengalihkan mataku dari bab
1 dan bab 2. Tapi memasuki bab 3 aku mulai menebak apa yang terjadi pada Lara,
dan tebakanku benar jreng jreng hehe. Tapi aku gak menduga apa yang terjadi
pada Mbak Saras. Benar-benar kayak kejutan hallowen gitu hehe
Alur cerita yang di pakai dari
awal Lara terbangun dari mimpinya adalah mundur. Dan diceritakan dengan lambat
sekali. Pernah main puzzle kan waktu kecil? Nah cerita novel ini persis banget
seperti menyusun puzzle. Setiap kepingnya yang kita anggap remeh menyusun
menjadi suatu gambaran utuh. Alurnya lompat-lompat dari sebelum Ayah Lara
meninggal, lalu disusul ketika Mbak Saras ingin berangkat ke Singapure dan
pertemuan dengan sahabat-sahabatnya. Semuanya di susun secara acak, sehingga
aku harus waspada (ck bahasanya hehe) ketika membacanya. Takut melewatkan
hal-hal yang tidak boleh terlewatkan.
Cuma ada beberapa hal yang
membuat aku merasa aneh saat membaca novel ini. Antara lain adalah:
Mbak Saras dan aku yang kala itu
masih duduk di bangku Sekolah Menengah, gemetar menyaksikan Ibu yang meraung,
memaksa para dokter melakukan kejut listrik untuk mengembalikan detak jantung
Ayah yang wajahnya terlihat membiru. – Hal 26
Gak di jelaskan, Sekolah Menengah
Pertama-kah? Atau Sekolah Menengah Atas?
Untuk keperluan apapun, Ibu selalu berbicara langsung
dengan Mbok Yam. Selain karena Mbok Yam buta huruf sehingga tidak bisa membaca
pesan-pesan ibu. –
Hal 31
Tapi di bagian lain tertulis
seperti ini.
Kuperiksa satu persatu kertas
catatan yang menempel pada pintu lemari pendingin. Sebagian besar berisi pesan
untuk Mbok Yam mengenai tugas-tugas yang harus dilakukannya hari ini. Ada
daftar bahan makanan yang harus dibeli, keperluan untuk perawatan taman, dan
membayar tagihan. –
Hal 93
Udah kelihatankan dimana anehnya?
Yup, di bagian pertama dijelaskan Mbok
Yam buta huruf, tapi bagian kedua sang majikan, Ibu Lara, menuliskan
tugas-tugas untuk Mbok Yam. Nah lho!? Kok bisa ...
Selain itu kata yang paling
sering di ulang dalam novel ini adalah “gravitasi”, “kembang kantil”, “kemboja”
dan “melati”. Kalau nama-nama bunganya sich wajar menurut aku di ulang, karena
emang bagian clue dari novel ini,
tapi kalau gravitasi? Hanya penulisnya yang tahu hehe. Ngomong-ngomong soal
clue, sebenarnya penulis udah menebar clue di dalam novel ini, sebelum sampai
pada bagian akhir dari cerita ini. Cuma yah pintar-pintar pembaca aja buat
menebak apa yang terjadi hehe.
Untuk ending, aku udah menebak
endingnya. Tapi aku gak nyangka kalau aku bakal merasa galau baca endingnya.
Tentang perasaan Dimas. Mbak Saras yang menutup-nutupi sebuah rahasia, tentang
Ibu Lara, dan terakhir Mbok Yam yang terkesan misterius. Semuanya terjawab satu
persatu tanpa ada unsur “Ih maksa banget penjelasannya.” Pokoknya setiap
jawaban di tempatkan di bagian yang pas dalam cerita ini. Sebenarnya endingnya gak seluruhnya nyesek,
bagian paling...paling... paling akhir akhirnya aku bisa tersenyum, walaupun
miris sekaligus sedih.
Pelajaran yang aku ambil dari
setiap tokoh itu terasa menyentuh sekali. Bagaimana Ibu harus bersikap.
Bagaimana caranya Mbok Yam harusnya iklas. Bagaimana Mbak Saras seharusnya
membagi ceritanya. Dan bagaimana kalau seharusnya Lara tidak bersikap masa
bodoh dan mendengarkan nasihat orang yang menyayanginya. Semuanya menjadi
pelajaran bagi diri sendiri. Ketika hal buruk terjadi, penyesalan tidak akan
ada artinya lagi. Mau menangis darah pun, kenyataan yang ada di depan mata
tidak akan bisa di ulang. Mulai dari diri sendiri untuk menikmati hidup, dalam
arti menikmati bukan menikmati duniawi, melainkan menikmati nafas yang masih
berhembus untuk beribadah kepada-Nya.
Selamat Membaca
Wah, ada apa dengan mbok yam?
BalasHapusPenasaran jadinya