Minggu, 24 Mei 2015

[Review Buku] Lara : A Dark Story Of a Woman by Sybill Affiat

Lara
A Dark Story Of a Woman
Copyright © Sybill Affiat
Penerbit Stiletto Book
Editor by Weka Swasti
Cetakan ke-1; April 2015; 233 Hlm
Desain Cover by Theresia Rosary
Rate 4 of 5


“L-a-r-a? Tolong aku?!”
Tampilan layar komputer memunculkan sosok perempuan yang berwajah putih pucat. Rambut perempuan kusut masai menutupi sebagian wajahnya yang semakin mendekat, hingga hanya tampak sepasang mata yang terus menatap dengan sorot dingin dan hampa. Lara menjerit sekencang-kencangnya dan menutup komputer dengan sekali hempasan.
***
Namaku Larashinta. Panggil aku Lara.
Aku benar-benar tak mampu lagi menyangkal perasaan aneh yang semakin berat menggelayuti hati dan pikiran. Aku merasa seperti mengambang dan tidak berada di dalam kehidupanku. Aku bahkan tidak bisa mengingat jadwal kuliah dan tugas-tugasku. Aku benar-benar terasing, seolah hidup sendirian di dunia ini. Aku tidak bisa bertemu dengan sahabat dan teman-temanku, aku juga tidak bisa mengobrol santai dengan Mbak Saras, kakakku.
Situasi ini membuatku frustasi. Rasanya bagaikan berjalan di atas bumi kehilangan gravitasi. Segala usaha yang aku lakukan untuk menjejakkan kaki di atas daratan sia-sia. Apa yang sebernarnya terjadi padaku?

Lara terbangun dari mimpi buruknya pada pukul 3 dini hari. Ia masih merasakan kengerian mengingat mimpinya yang baru saja ia alami. Dan kengerian itu terus berlanjut hingga Lara sendiri tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Mbak Saras kakak Lara tiba-tiba mendiamkan Lara tanpa sebab. Ibunya tidak bicara lagi padanya, sebenarnya bukan hal aneh, karena ibunya sudah bersikap demikan semenjak kematian ayah Lara. Seakan sikap permusuhan ibu menular, Mbok Yam Pembantu rumah tangga Lara pun ikut mendiamkan Lara tanpa sebab.  Dimas dan Faira sahabat karib Lara tidak pernah terlihat lagi. Lara merasa kesepian, seakan semua dunia memusuhinya tanpa alasan yang ia ketahui.

Lara juga seakan kehilangan memorinya sebagian akan sesuatu yang tengah ia kerjakan. Seperti melupakan jadwal kuliah dan tugas-tugasnya. Ia semakin terpuruk ketika Mbak Saras, orang yang paling mengerti dirinya, teman bicaranya, saudara sekaligus teman mendadak diam seribu bahasa. Tidak ada sepatah katapun terucap, bahkan menatap Lara pun tidak.

Tapi semua terungkap sedikit-demi sedikit ketika memorinya yang entah dari masa-masa lalu muncul kepermukaan. Memberikan kegembiraan sekaligus jawaban apa yang dialaminya saat ini. Awalnya ia gembira bisa mengingat sebagian masa kecilnya ketika ayahnya masih hidup dan ibunya masih menyayangi Lara dan kakaknya. Ketika pertemuannya dengan Dimas, dan bagaimana hubungan Lara dan Faira bisa begitu dekat. Semuanya indah.

Tapi tidak bertahan lama.

Kenyataan makin terungkap ketika suatu malam ia melihat Rayan kekasihnya berdiri di depan pintu rumahnya dalam keadaan berdarah-darah.

***


Akhirnya menyelesaikan juga buku ini. Kalau genre horor gini, gak ada alasan buat aku ngelama-lamain bacanya. Sekitar dua hari aku menyelesaikannya, di sela-sela waktu menjaga bayi kecilku yang aktifnya minta ampun hehe

Pembukaan cerita ini benar-benar bikin bingung dan penasaran. Sampai aku tidak bisa mengalihkan mataku dari bab 1 dan bab 2. Tapi memasuki bab 3 aku mulai menebak apa yang terjadi pada Lara, dan tebakanku benar jreng jreng hehe. Tapi aku gak menduga apa yang terjadi pada Mbak Saras. Benar-benar kayak kejutan hallowen gitu hehe

Alur cerita yang di pakai dari awal Lara terbangun dari mimpinya adalah mundur. Dan diceritakan dengan lambat sekali. Pernah main puzzle kan waktu kecil? Nah cerita novel ini persis banget seperti menyusun puzzle. Setiap kepingnya yang kita anggap remeh menyusun menjadi suatu gambaran utuh. Alurnya lompat-lompat dari sebelum Ayah Lara meninggal, lalu disusul ketika Mbak Saras ingin berangkat ke Singapure dan pertemuan dengan sahabat-sahabatnya. Semuanya di susun secara acak, sehingga aku harus waspada (ck bahasanya hehe) ketika membacanya. Takut melewatkan hal-hal yang tidak boleh terlewatkan.

Cuma ada beberapa hal yang membuat aku merasa aneh saat membaca novel ini. Antara lain adalah:

Mbak Saras dan aku yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah, gemetar menyaksikan Ibu yang meraung, memaksa para dokter melakukan kejut listrik untuk mengembalikan detak jantung Ayah yang wajahnya terlihat membiru. – Hal 26

Gak di jelaskan, Sekolah Menengah Pertama-kah? Atau Sekolah Menengah Atas?

Untuk keperluan apapun, Ibu selalu berbicara langsung dengan Mbok Yam. Selain karena Mbok Yam buta huruf sehingga tidak bisa membaca pesan-pesan ibu. Hal 31

Tapi di bagian lain tertulis seperti ini.

Kuperiksa satu persatu kertas catatan yang menempel pada pintu lemari pendingin. Sebagian besar berisi pesan untuk Mbok Yam mengenai tugas-tugas yang harus dilakukannya hari ini. Ada daftar bahan makanan yang harus dibeli, keperluan untuk perawatan taman, dan membayar tagihan. Hal 93

Udah kelihatankan dimana anehnya? Yup, di bagian  pertama dijelaskan Mbok Yam buta huruf, tapi bagian kedua sang majikan, Ibu Lara, menuliskan tugas-tugas untuk Mbok Yam. Nah lho!? Kok bisa ...

Selain itu kata yang paling sering di ulang dalam novel ini adalah “gravitasi”, “kembang kantil”, “kemboja” dan “melati”. Kalau nama-nama bunganya sich wajar menurut aku di ulang, karena emang bagian clue dari novel ini, tapi kalau gravitasi? Hanya penulisnya yang tahu hehe. Ngomong-ngomong soal clue, sebenarnya penulis udah menebar clue di dalam novel ini, sebelum sampai pada bagian akhir dari cerita ini. Cuma yah pintar-pintar pembaca aja buat menebak apa yang terjadi hehe.

Untuk ending, aku udah menebak endingnya. Tapi aku gak nyangka kalau aku bakal merasa galau baca endingnya. Tentang perasaan Dimas. Mbak Saras yang menutup-nutupi sebuah rahasia, tentang Ibu Lara, dan terakhir Mbok Yam yang terkesan misterius. Semuanya terjawab satu persatu tanpa ada unsur “Ih maksa banget penjelasannya.” Pokoknya setiap jawaban di tempatkan di bagian yang pas dalam cerita ini.  Sebenarnya endingnya gak seluruhnya nyesek, bagian paling...paling... paling akhir akhirnya aku bisa tersenyum, walaupun miris sekaligus sedih.

Pelajaran yang aku ambil dari setiap tokoh itu terasa menyentuh sekali. Bagaimana Ibu harus bersikap. Bagaimana caranya Mbok Yam harusnya iklas. Bagaimana Mbak Saras seharusnya membagi ceritanya. Dan bagaimana kalau seharusnya Lara tidak bersikap masa bodoh dan mendengarkan nasihat orang yang menyayanginya. Semuanya menjadi pelajaran bagi diri sendiri. Ketika hal buruk terjadi, penyesalan tidak akan ada artinya lagi. Mau menangis darah pun, kenyataan yang ada di depan mata tidak akan bisa di ulang. Mulai dari diri sendiri untuk menikmati hidup, dalam arti menikmati bukan menikmati duniawi, melainkan menikmati nafas yang masih berhembus untuk beribadah kepada-Nya.


Selamat Membaca




G+

1 komentar:

Berikan komentarmu disini

 
;