Kamis, 10 Oktober 2013

Character Thursday: Jane Wilkison at Lord Edgware Dies

 MAYBE SPOILER

 

Setelah selesai membaca novel Agatha Christie yang berjudul Lord Edgware Dies saya memutuskan untuk mengambil tokoh utama dalam cerita ini, yaitu Lady Edgware atau lebih akrab dengan nama Jane Wilkison. Karakternya yang sangat kuat disini bukan hanya karena dia sebagai tokoh utama, tapi ia juga adalah otak utama dari pembunuhan Lord Edgware, Carlotta Adams dan Donald Ross yang sempat membuat sang Detektif ternama pun di buat kebingungan intrik dalam kasus ini. Jane Wilkison berhasil menarik perhatian saya untuk saya analisis karakternya di tulisan kali ini. Jujur, saya sangat terkejut ketika di lembaran akhir saat Poirot mengutarakan analisisnya yang menyatakan bahwa Jane adalah pelaku dari ketiga pembunuhan itu, dan semuanya ia lakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Memang bukan hal yang mengejutkan kalau karya Agatha Christie selalu membuat pembaca terkagum-kagum oleh kelihaian Beliau dalam menyesatkan pembaca dalam tulisannya. Menerka-nerka siapa sebenarnya pelakunya, apakah si A atau si B atau si C. Yang menarik perhatian saya disini adalah bahwa karakter Jane itu di gambarkan bodoh. Wanita yang taunya hanya bersenang-senang dan hanya memandang dirinya sendiri. Tidak mungkin wanita seperti itu bisa memikirkan trik yang bagus untuk menyembunyikan kejahatan sempurnanya.


Dalam bayangan saya, Jane itu seorang wanita yang hanya memikirkan kecantikan dan penampilannya saja. Ia tidak peduli dengan apapun, yang penting ia selalu tampil cantik.

Lady Edgware yang kini menjanda itu sedang mencoba topi-topi di depan cermin. Gaunnya dari bahan tipis hitam dan putih.
“Saya benci warna hitam,” katanya sedih. “Tak pernah saya memakai warna hitam. Tapi rasanya sebagai janda yang baik harus saya kenakan juga. Semua topi ini begitu mengerikan. Telepon toko topi satunya, Ellis. Aku harus pantas dilihat orang.”




Dari penggalan kalimat itu, saya langsung mengambil kesimpulan bahwa Jane ini adalah wanita penggila dirinya sendiri. Ia ingin semua perhatian hanya tertuju padanya. Karena ia tidak punya otak, yah setidaknya dengan kecantikannya ia dapat menarik seluruh perhatian orang lain padanya.

cari-cari di google eh nemu cewek ini 

dan pas banget kayaknya dengan karaktar Jane Wilkison

Bila saya bertemu dengan Jane, mungkin saya tidak akan pernah cocok dengan wanita itu. Ia wanita yang paling egois yang pernah saya kenal karakternya, ia benar-benar hanya mementingkan kesenangannya sendiri. Tidak memikirkan bagaimana orang-orang yang terlibat dengan urusannya. Aku merasa kasihan saat Bryan Martin di perintah Jane untuk menyuruh pelayan mengantarkan makanannya ke Suitenya. Belum lagi cara ia meminta —aku lebih suka menyebutnya memaksa— pada Poirot untuk membujuk suaminya agar bercerai.

“Anda ingin saya bahagia, kan?”
Suaranya rendah, lembut dan memikat.
“Saya ingin tiap orang bahagia,” Ujar Poirot hati-hati
“Ya, tapi yang saya maksud bukan tiap orang. Maksudnya saya, saya saja,”

Saat mendengar kematian suaminya, ia benar-benar cerdas menyembunyikan kegembiraannya. Tapi walaupun akhirnya ia jelas sekali tidak sedih atas kematian suaminya, namun dengan santainya ia mengoceh tentang rencana-rencananya bersama Duke of Merton.

Menurutku ia pun sangat cerdas di balik kebodohan yang sering di tampakan secara nyata pada Poirot dan Hasting. Bagian yang paling terkesan bagi aku itu, saat ia mengatakan pada Poirot tentang niat ia sebenarnya tidak ingin menghandiri undangan Sir Montagu Corner, tapi niat itu ia batalkan karena Ellis memaksanya untuk bersikap sopan santun. Bagaimana pun juga Sir Montagu Corner pasti akan mengundang orang-orang ternama, dan siapa tau ia bisa mendapat rekomendari karis cemerlang disana. Pernyataannya yang di ucapkan secara polos, membuat kecurigaan Poirot padanya HILANG SEPENUHNNYA. Biasanya Poirot tidak akan pernah membuat pengecualian terhadap tersangka pembunuhan, tapi karena ia melihat ada seseorang yang ingin menjebak Jane, ia menjadi lengah. Mencari bukti kesana kesini dan hampir putus asa.

Jane juga adalah tipe wanita berani yang mengambil resiko. Ia dengan tepat memprediksi tentang kemungkinan dirinya yang akan di curigai dengan menyiapkan alibi yang sangat luar biasa terpercaya. Kenapa saya mengatakan seperti itu? Bayangkan saja, sudah tiga orang yang mati  tapi sama sekali Poirot tidak menaruh curiga pada alibi Jane, dan aku harus mengakui bahwa ini adalah pembunuhan sempurna yang pernah ada. Kalau bukan ucapan pejalan kaki yang menyebut-nyebut nama Ellis (pembantu Jane), Poirot tentu tidak akan memecahkan kasus ini.

Tapi Jane kurang waspada. Ia terlalu merasa aman dengan alibinya, kepolisian pun makin menjauhkan dirinya dari label ‘tersangka’ dan hidupnya aman sentosa bahagia. Ia tidak pernah sama sekali menyangka kalau Poirot akan mewancarai Ellis, dan saat ia menanyakan apa saja yang di tanyakan Poirot, Jane masih tidak berpikir bahwa Poirot mulai saat itu mencurigainya. Dan akhirnya ia tertangkap.

Aku tidak pernah pernah ingin bertemu orang selicik dan seegois Jane. Di ambang kematiannya pun ia sempat memikirkan reputasinya. Ia ingin di kenang sebagai seorang wanita pembunuh yang pernah ada.


Bodoh sekaligus pintar. Itulah Jane ..... 

G+

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentarmu disini

 
;